Photobucket

Senin, 22 April 2013

Sebuah Sumpah di Balik Camar Biru


Catatan: Karena terbawa-bawa gaya penulisan Nilam Suri di Camar Biru, untuk review kali ini saya akan menggunakan ‘gue’. Harap maklum dan jangan kaget, ya ^__^

Judul: Camar Biru
Pengarang: Nilam Suri
Penerbit: GagasMedia
Halaman: 279 halaman
Terbitan: November 2012

Sinopsis:
Aku membutuhkanmu.
Kau terasa tepat untukku. Pelukanmu serasi dengan hangat tubuhku. Dan setiap bagian dari diriku sudah terlalu terbiasa dengan kehadiranmu-dengan suaramu, dengan sentuhanmu, dengan aroma khas tubuhmu. Dengan debaran yang terdengar seperti ketukan bermelodi saat kau menatapku penuh perhatian seperti itu.

Aku membutuhkanmu.
Ya cinta, ya waktumu. Dan kau sudah melihat jujur dan juga munafikku. Bahkan, di saat aku begitu yakin kau akan meninggalkanku, kau hanya menertawakan kecurigaanku dan merangkul bahuku. Sungguh heran, setelah sekian tahun pun, kau masih bertahan di sini, bersamaku.

Aku membutuhkanmu-dan bisa jadi... aku mencintaimu. Tapi, aku belum akan mengakui ini padamu. Aku belum siap meruntuhkan bentengku dan membiarkanmu memiliki hatiku....

Ini cerita tentang sebuah bujursangkar, yang dulu pernah begitu solid namun kini terpecah karena sebuah tragedi.

Gue sering banget baca komik yang temanya teman sepermainan sejak kecil dan hubungan pertemanan itu terus berlanjut sampai mereka dewasa. Ada yang hubungannya bermetamorfosis jadi percintaan, ada yang tetap bertahan dalam persahabatan itu sampai akhir. Nah, kalau novel rasanya gue belum pernah baca. Atau saat nulis ini gue nggak bisa mengingat satu judul novel pun. Oke, ada satu novel yang ceritanya tentang abang dan adik tiri, tapi itu doang…

Anyway, Camar Biru bercerita mengenai empat orang sahabat: Naren dan Nina, Sinar dan Adith. Masing-masing grup adalah kakak beradik, tiga cowok dengan satu cewek. Seperti yang biasa terjadi, ketiga cowok ini begitu melindungi Nina. Keakraban mereka berubah saat Naren meninggalkan mereka dan Sinar memilih hengkang, menyisakan Nina yang terpuruk dengan Adith yang mengkhawatirkan Nina. Pelan-pelan hubungan antara Nina dan Adith mulai berubah saat mereka bersumpah akan menikah 10 tahun lagi dengan lambing camar biru dan waktu 10 tahun itu datang juga…

Beberapa kali gue baca back cover novel-novel keluaran Gagasmedia, seringkali gue nggak ngerti apa sebetulnya inti ceritanya. Jadi, gue merasa kayak beli kucing dalam kurungan, eh, karung. Gue akuin kalimat-kalimatnya puitis dan indah, tapi ni buku mau cerita apa, sih? Entah. Sama sekali nggak kebayang kalau gue bakal menemukan cerita mengenai Adith dan Nina saat gw melirik kover belakangnya. Yah, mungkin sekadar saran aja, biar Cuma satu paragraf, ada gitu gambaran singkat isi ceritanya.

Oke, pembukaannya menarik. Gue langsung disuguhi Adith yang kelihatannya terpaksa memenuhi janjinya menikahi Nina. Adith yang menyangka Nina sudah melupakan janji itu. Nggak tahunya Nina masih ingat dan ia tidak keberatan untuk menjadikan Adith sebagai suaminya. Adith, sih, nggak perlu meragukan perasaannya kepada Nina, tapi Adith sendiri nggak yakin ama Nina. Cewek satu ini sebetulnya terpaksa nggak, sih, menikah ama dia?

Jujur, Camar Biru berhasil membius gue. Walaupun tetap saja gue harus nyicil baca, gue bisa dibilang nggak bisa berhenti bacanya. Nah, yang jadi pemikiran gue, sebetulnya klimaks dari Camar Biru ini apa? Nina digambarkan sebagai cewek cantik yang berantakan dan nggak kerawat. Dia tinggal sendirian di sebuah apartemen studio yang katanya nggak kalah berantakan. Makanya, Adith yang kerja sebagai dosen bahasa Jepang terpaksa harus ngurusin Nina, termasuk bela-belain tengah malam nemenin Nina beli kopi favoritnya di Starbucks. Get real. Bukan gue bilang seseorang nggak boleh perhatian ama orang lain, tapi Adith is too damn nice for a guy. Adith bisa dibilang nggak punya kehidupan selain ngurusin Nina. Apa-apa Nina. Bahkan saking mengertinya Adith akan Nina, tu cewek nggak usah ngomong juga si Adith udah ngerti. Errr, come on, gue yakin banget kalau nggak ada orang yang bisa benar-benar plek ngertiin orang lain. Dan seperti yang gue singgung di awal paragraf tadi, gue bener-bener nggak tahu apa puncak novel ini. Apa pas flash back kejadian Naren kecelakaan mobil? Atau pas Nina menceritakan rahasia kelam yang dipendamnya selama sepuluh tahun? I dunno, I just couldn’t find the rite climax…

Alur Camar Biru mengalir lancar. Nilam berhasil menempatkan kapan waktunya kembali ke masa lalu dengan pas, jadi biarpun pakai alur maju mundur, gue nggak merasa terganggu. Tadinya gue sempat bingung menyadari ada tiga macam jenis font yang dipake. Tapi nggak perlu waktu lama untuk menyadari bahwa font dibedakan saat yang bercerita adalah Adith atau Nina (dan juga ada yang memakai sudut pandang orang ketiga). Sayangnya lagi, gue nggak merasa kekuatan sifat karakter Nina dan Adith. Keduanya terasa bagai satu orang, tapi berperan jadi dua tokoh yang berbeda. Kalau Nina emang gloomy, kenapa gue nggak merasa begitu? Cara Nina bertutur bagaikan kembar dengan Adith, jadi andaikan gue mengenyampingkan jenis font yang berbeda dan nama, gue nggak bisa bedain siapa yang lagi ngoceh. Gue juga merasa aneh saat Sinar berbicara menggunakan kata ganti ‘saya’. Plis, deh, apa segitu jauhnya  jarak antara Nina-Adith dengan Sinar sampai harus pakai ‘saya’?

Gue juga agak bête karena para tokoh di Camar Biru  ini nggak usah pusing soal financial. Biar Nina acak adut gitu, dia berhasil jadi ilustrator yang mampu beli apartemen sendiri, plus kalau mau ke Bali atau beli iPAD nggak usah bingung dananya dari mana. Adith sendiri biar cuma sekelas jadi dosen, dia mampu buat beli buku-buku impor di Kinokuniya, jajan di Starbucks, ke Bali nyusul Nina, atau… yah, punya mobil sendiri. Not to say it’s nonsense, tapi kalau dibuat agak down to earth mungkin bakal lebih asyik kali, ya. Sinar sendiri juga gampang aja kabur ke London, kuliah lagi di sana, bla, bla…

Bahasa Inggris bertaburan di novel ini. Make sense, secara dari awal sudah terlihat kalau kehidupan para karakternya memang terbiasa ngocehin bahasa asing. Gue nggak terganggu, tapi gue jadi kepikiran ama pembaca yang mungkin belum terlalu menguasai bahasa Inggris, mungkin mereka akan kehilangan dialog-dialog penting yang bikin segala misteri di novel ini terungkap. Untungnya, dibanding beberapa novel yang juga bertaburan bahasa asing, kesalahan grammar di Camar Biru  cuma  sedikit. Gue harap ke depannya novel-novel kita nggak terlalu ngobral bahasa asing kalau emang nggak perlu-perlu amat. Bukan apa-apa, kita harus lebih bangga ama bahasa sendiri, toh?

Gue salut ama editorial dan tata letak Camar Biru. Walaupun gue ngak ngerti apa maksud ranting-ranting di kover, tapi camar biru kertanya jelas, sih (he he). Camar biru itu juga menghiasi setiap awal bab plus cuplikan lagu-lagu barat. Nggak pakai judul bab, but it’s not really a big problem anyway. Mutu ejaannya juga terjaga, kesalahan ketiknya nggak banyak. Keren, deh.

Cinta tak selalu tepat waktu.

Nina yang nggak ingin membebani Adith atau Sinar atau siapa pun juga sengaja menutup dirinya, sementara Adith yang menerima Nina apa adanya tetap mendukung Nina apa pun yang ia lakukan. Apakah ada cowok yang sebaik Adith di dunia ini? Gue yakin ada, tapi jumlahnya terbatas. Pada akhirnya Nina, Adith, Naren, Sinar, bahkan Danish adalah cerminan orang-orang yang mendekati sempurna di balik segala kekurangan mereka. Walau begitu, gue nggak nemu alasan untuk membenci mereka karena mereka terlalu manis untuk dibenci ^__^

P.S. Sumpah, gue terganggu banget ama panggilan sayang yang bisa ditemukan di mana-mana di novel ini. Gue lebih milih kata lain dibandingkan Kunyuk, Beruk, Setan, atau Kampret kalau manggil orang yang berarti buat gue.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar