Photobucket

Kamis, 23 Agustus 2012

Yang Penuh Perhitungan: The Recknoning



Judul: The Reckoning-Perhitungan
Penulis: Kelley Armstrong
Kategori: Novel, fiksi
Kover: softcover
ISBN: 978-602-18349-0-9
Ukuran: 14 x 20.5 cm
Penerbit: Ufuk Publishing House
Halaman: 456 halaman
Terbit: 2012
Harga: Rp59.900,-

Liburan, kenapa tidak saya isi dengan membaca buku? Terutama buku-buku dari Penerbit Ufuk yang sudah menggoda sekali untuk dibaca yang saya beli via Yes24.com Indonesia. Karena keuangan terbatas sementara buku-buku terbitan Ufuk bisa dibilang menarik semua, saya mencoba memilih berdasarkan rekomendasi teman-teman.

Awalnya saya tidak tertarik sama sekali membaca buku ini. Apalagi kalau melihat ada serinya. Tapi, seorang teman setengah memaksa saya menikmati novel favoritnya itu. Awalnya novel ini saya pinjam darinya. Toh, kalau membosankan saya bisa berhenti di tengah jalan. Kalau memang menarik, wah, bakal seru. Tidak ada ruginya. Namun, pada kenyataannya, akhirnya saya membelinya sendiri. Thanks a lot to Yes24.com for the nice discount!

Oh, ya, sebelum membaca buku ini, saya juga dipaksa untuk membaca kedua buku sebelumnya yang termasuk dalam trilogi Darkest Power karya Kelley Armstrong ini. Saya membacanya, tapi bisa dibilang sekilas-sekilas, hanya demi agar saya bisa cepat-cepat membaca The Reckoning. Maafkan saya untuk ini ^__^ (edit: Tapi hal ini saya tebus dengan membaca ulang kedua seri sebelumnya karena membaca The Reckoning tidak akan meresap begitu dalam di hati saya jika saya tidak melakukan hal itu!). Hal ini gara-gara begitu banyak orang yang merekomendasi seri terakhir dari Darkest Power. Apakah ada sesuatu yang membuatnya mendapatkan rating cukup tinggi di goodreads? Atau apakah yang saya rasakan setelah saya membaca buku ini akan berbeda dengan tanggapan orang kebanyakan? We’ll see...

Kelley Armstrong memiliki kebiasaan jarang menjelaskan ulang apa-apa yang sudah di buku-buku sebelumnya. Untuk pembaca lama, hal ini sangat menyenangkan, walau akan membuat pembaca baru kebingungan (seperti yang pernah saya alami). Untuk Anda yang benar-benar mencintai seri ini, sebaiknya (ya, ini saran saya) untuk membaca kedua seri sebelumnya.

The Reckoning secara keseluruhan bercerita mengenai Chloe, Derek, Simon, dan Tori yang harus menyelamatkan diri dari Grup Edison. Mereka masih dibayang-bayangi kemungkin bahwa ada mata-mata dari Grup Edison di antara mereka yang mungkin saja akan membawa mereka kembali ke lab, atau bahkan bisa saja membunuh mereka. Apakah para tokoh kesayangan kita ini harus menghadapi kenyataaan bahwa ada pengkhianat di antara mereka? Atau mereka hanyalah 'korban' yang harus berjuang untuk 'menyelamatkan diri?

Kehidupan Chloe Saunders yang masih berusia 15 tahun berubah total. Keinginannya menjadi anak normal sepertinya akan sulit tercapai. Tentu saja ini gara-gara Chloe adalah seorang necromancer dengan gen termodifikasi yang dapat membangkitkan orang mati, wow. Bersama teman-temannya yang "berbakat", Chloe and the gank harus jungkir balik menyelamatkan diri dari organisasi jahat, Grup Edison, yang menciptakan mereka. Selain itu, Chloe juga harus dipusingkan dengan kisah cintanya dengan Simon si penyihir baik atau Derek, si manusia serigala yang juga saudara Simon...

Plot The Reckoning sedikit banyak agak mirip dengan The Summoning yang memiliki klimaks yang jelas, sementara The Awakening sedikit 'berputar-putar' tanpa penyelesaian tuntas. Hubungan antara Chloe dan Derek juga dipaparkan secara lengkap dan berlangsung timbal balik. Terasa nyata dan mungkin dialami para remaja. Dan 'romance' adalah salah satu kelebihan The Reckoning yang tidak Anda temukan di dua seri pendahulunya. Kisah cinta antara kedua remaja ini sangat manis. Derek, seorang manusia serigala yang tanggung dan kuat, ternyata menginginkan Chloe tetap ada di sisinya di saat-saat terburuknya, sementara Chloe memang tetap berada di sisinya, meremas atau sekadar mengusap tangan Derek untuk menenangkannya... Sebuah 'permulaan' sebuah hubungan yang benar-benar manis pada akhir trilogi ini... Awh.

The Reckoning adalah salah satu buku yang saya komentari, “Ya ampun, manis banget, sih, ceritanya.” Dan saya bersungguh-sungguh saat mengatakannya. Pipi saya seakan memanas menikmati apa yang terjadi antara Chloe dan Derek, hehe.

Karakter-karakter pada buku ini juga layak untuk saya cintai. Misalnya, Chloe adalah karakter yang mengagumkan. Ia mengalami perubahan sifat karakter. Ia tumbuh dewasa. Ia memang tidak tiba-tiba bertransformasi menjadi seorang gadis serba bisa, tapi Chloe berusaha sebaik mungkin. Yah, pada intinya saya menyukai sosok baru Chloe dan jadi suka padanya... Chloe yang tadinya pemalu dan tertutup, selalu memikirkan kekuatannya secara berlebihan dan sulit untuk percaya pada orang lain, kini menjadi gadis yang lebih bijaksana, tidak takut mengambil keputusan walaupun pilihan itu mungkin tidak mudah.

Ada juga Derek, yang jujur dan lugu (ahahaha), juga penuh perlindungan. Ia menjadi semacam sandaran bagi Chloe? Entahlah bagaimana cara menjelaskannya.Dan, jangan pernah melupakan para karater tambahan seperti Simon, Tori, atau Liz. Mereka memberi warna pada seri ini dan membuat alur ceritanya sayang menarik. Para karakter ini tidak pernah menjadi sempurna dan itulah yang membuat cerita ini menjadi sempurna. Chloe tidak akan pernah menjadi 100% berani, terkadang ia juga mengalami dilema dan bingung menentukan pilihan.

Armstrong menunjukkan kepiawaiannya menulis. Di satu saat ia berhasil menulis cerita bertema dewasa yang membuat saya menahan napas, tapi di lain kesempatan ia juga mampu menghadirkan cerita supernatural untuk para remaja, tetap dengan alur dan klimaks yang membuat saya tidak dapat berhenti membacanya. Khusus bagi Trilogi ini, Armstrong sengaja membuat endingnya menggantung. Atau ‘terbuka’ lebih tepatnya. Sehingga cerita ini masih memilki banyak kesempatan untuk diteruskan. Sedikit banyak ini agak mengganggu saya. Bahkan di beberapa bagian, penyelesaiannya terasa terlalu sempurna, tapi... yah, tidak mengapa.

Misalnya saja bagian cerita yang melibatkan para demon dibiarkan menggantung tak terselesaikan. Apakah suatu saat nanti Chloe akan tumbuh dewasa dan kebali menyelesaikan segala urusannya dengan sang iblis ini? Saya jadi berharap bakal ada lanjutan, aka seri ke-4, dari trilogi ini. Yah, maklum, saya termasuk salah satu tipe yang lebih menyukai ending yang pasti. Tentu saja, tetap dengan kemungkinan untuk diteruskan di kemudian hari karena saya sangat penasaran akan seperti apakah tokoh-tokoh kesayangan saya ini jika mereka tumbuh dewasa nanti...

Yah, walau tentu saja, ada beberapa pertanyaan yang tidak terjawab. Misalnya... Apakah Rae benar-benar selamat? Apakah Grup Edison masih meneruskan modifikasi DNA mereka? Atau memang pertanyaan-pertanyaan seperti ini ada untuk dijawab di seri selanjutnya?

Oke, oke, saya harus mengakui bahwa saya SEDIH karena seri ini berakhir. Saya terlalu terjerat pada karakter-karakter di trilogi ini, seakan-akan saya ikut berpetualang bersama mereka. Armstrong berhasil mengaduk-aduk perasaan saya, merasakan segala kesulitan yang dialami Chloe dan kawan-kawan. Dan mungkin saya tidak keberatan dengan beberapa hal yang memang sebaiknya tidak perlu jawaban... karena lagi-lagi saya menantikan petualangan mereka di masa depan.

Kelley Armstrong sendiri adalah penulis Kanada yang mulai menulis fantasi sejak tahun 2001. Salah satu karyanya yang cukup terkenal adalah seri Woman of the Otherworld. Armstrong sering memunculkan karakter yang memiliki kekuatan supranatural, seperti penyihir, necromancer, atau manusia serigala. Tidak heran kalau dalam seri The Darkest Power mereka juga 'berkeliaran'. Armstrong suka memasukkan unsur misteri dalam karya-karyanya dan mungkin inilah yang membuat kita tidak dapat melepaskan buku-bukunya sebelum mencapai halaman terakhir.

Anyway, buat para pecinta buku, jangan lewatkan berbelanja via Bukukita.com. Anda akan mendapatkan diskon yang menggiurkan dan yang terpenting, tidak perlu bermacet-macet ria mencari buku yang kita inginkan. Tinggal menjelajah di situsnya, pesan, bayar, dan Anda tinggal menunggu buku Anda tiba dengan selamat. So simple!

[Viva.co.id] Menjelajah Tampilan Baru

Saya bukan penikmat berita versi on-line. Yah, tentu saja saat saya sedang surfing dan bisa membuka link, saya akan membaca beberapa berita yang menarik. Tapi saya akan tetap memilih wujud fisik, misalkan koran atau majalah, untuk mencari berita-berita terbaru. Alasannya banyak, salah satunya, mata mudah lelah bila berhadapan dengan layar gadget atau PC saat membaca berita yang sarat tulisan.

Nah, apa yang menarik dari VIVAnews? Saya mengetahui adanya portal berita http://news.viva.co.id/ sejak menjadi pengikut akun twitter @VIVAnews. Walaupun akses internet saya di kantor terbatas, saat ada caption judul yang  menarik perhatian yang rajin dikicaukan oleh @VIVAnews, saya akan menyimpan link-nya untuk dibuka kemudian saat memungkinkan. Yang pasti, @VIVAnews berhasil memberikan judul-judul unik yang berhasil menggoda saya untuk membaca berita lengkapnya.

Sejujurnya, saya tidak begitu memerhatikan tampilan awal VIVAnews sebelumnya, sehingga saya tidak terlalu bisa membandingkan yang sekarang dengan yang dulu. Karena itu, saya mencoba membandingkannya dengan beberapa portal berita lain yang terkadang saya kunjungi juga.

Kesan Pertama
Satu kata: biasa. Saya tidak melihat sesuatu yang outstanding, kecuali animasi foto yang berganti-ganti sebagai berita utama. Kualitas beberapa foto utama tersebut sangat menarik dengan sudut pengambilan yang bagus, tapi sebagian lagi terlalu biasa untuk dimasukkan sebagai headline. Bahkan ada beberapa foto yang mutunya kurang baik alias tidak terlalu tajam.

Warna putih sangat mendominasi tampilan secara keseluruhan, diikuti dengan warna merah khas VIVAnews dan warna-warna ini 'kalah' dengan keragaman warna yang ditampilkan foto-foto yang ada. Kita harus jeli untuk tahu bagian mana yang harus di-klik agar dapat pergi ke laman yang memuat berita tersebut. Namun, kita tidak perlu terlalu panik karena kursor mouse akan berubah saat kita menggulirkannya di layar. Klik, Anda langsung terbawa ke laman yang Anda inginkan ;)

Animasi di Laman Utama
Saya menyukai animasi yang ada pada sebuah laman web, namun pihak developer harus memikirkan apa fungsi animasi dan juga segala hal yang menyangkut animasi tersebut. Animasi pada laman utama Viva.co.id memang menunjukkan foto-foto dengan caption menarik, tapi untuk saya kecepatan animasi itu tidak sesuai untuk saya menikmati satu demi satu berita yang akan saya baca duluan. Untunglah Viva mempermudah saya pergi ke laman yang saya inginkan cukup hanya dengan mengklik foto. Tapi, kalau tidak hati-hati dan mengklik di waktu yang salah, saya malah akan terbawa ke laman yang lain karena foto keburu berganti ke slide berikutnya.

Menu DropDown
Viva membagi berita-beritanya menjadi beberapa segmen, misal Politik, Bisnis, atau Otomotif. Anda tinggal menggerakkan mouse ke segmen yang Anda inginkan pada menu utama di bagian atas, lalu akan muncul daftar dalam bentuk dropdown. Hal ini cukup memudahkan Anda untuk mencari berita yang paling menarik untuk dibaca.
Masalahnya, menu ini kadang tidak muncul begitu saja. Contohnya saat saya beralih dari satu segmen ke segmen lain, menu ini tidak muncul sehingga saya seikit kesulitan mencari berita yang saya inginkan...

Layout pada Masing-masing Segmen
Saya perhatikan, bagian Otomatif dari situs Viva ternyata memiliki latar belakang berbeda dengan segmen yang lain. Kalau segmen lain latar belakangnya cukup berwarna putih sederhana, untuk bagian Otomotif, Anda akan melihat gambar mobil dan hal-hal lain yang berhubungan. Untuk saya pribadi, gambar ini cukup menarik dan menjadi hal pertama yang saya nikmati saat menjelajah ke bagian Otomotif. Saya berharap segmen-segmen lain di portal Viva juga dilengkapi dengan gambar-gambar seperti yang diterapkan pada segmen Otomotif.

Layout Keseluruhan
Secara keseluruhan, tampilan portal Viva cukup sederhana dan tidak membingungkan karena masing-masing segmen tertulis dengan jelas. Berbeda dengan salah satu portal berita yang didominasi warna hijau. Saya tersesat di sana, tidak tahu apa yang harus diklik atau berita ini ada di segmen mana. Layout Viva ini cocok sekali untuk para pembaca serius yang tidak perlu banyak embel-embel animasi atau warna, tapi tetap menarik bagi pembaca 'numpang lewat' seperti saya.

Penggunaan Foto untuk Berita Terkait
Untuk beberapa artikel, entah kenapa pihak Viva menggunakan foto yang kurang relevan. Misalnya pada berita "Anak 8 Tahun Tenggelam di Kolam Rekreasi", pihak Viva menggunakan foto anak-anak bule sehingga saya sempat berpikir bahwa kejadiannya terjadi di luar negeri. Alangkah terkejutnya saya saat mengetahui peristiwa naas tersebut terjadi di perbatasan antara Karawang dan Bekasi! Dan ternyata yang berpikiran sama dengan saya juga ada karena orang tersebut juga menanyakan hal yang sama. Mungkin ada baiknya jika lain kali Viva menyertakan foto yang lebih sesuai. Juga mencantumkan sumber foto yang digunakan dalam berita.



Iklan di Bagian Kanan Atas
Saya pribadi cukup terganggu dengan keberadaan iklan ini. Bukan karena iklannya, melainkan karena pop up otomatis yang memenuhi layar jika iklan tersebut tersentuh 'tidak sengaja' oleh kursor mouse saya. Saya harus menutup pop up tersebut berkali-kali agar saya dapat menikmati berita yang ingin saya baca. Saya mencoba mengerti bahwa si pemasang iklan telah membayar agar kita, sebagai pembaca, melihat iklan tersebut. Tapi dapatkah pihak Viva melakukan sesuatu agar saya, atau pembaca lain, dapat menyingkat waktu yang terbuang hanya untuk menutup jendela tersebut??

Kecepatan Berpindah AntarLaman
Tidak semua orang memiliki kecepatan akses internet yang cukup cepat dan hal ini terjadi pada saya. Harus saya akui bahwa kecepatan berpindah antarlama Viva harus diacungi jempol. Saya memang tidak mengukur seberapa cepatnya, tapi yang pasti saya bisa bilang hanya butuh waktu paling lama 15 detik untuk membuka laman baru di portal berita Viva.
Bahkan saat saya mencoba mencari berita dengan menggunakan kata kunci tertentu, Viva langsung memunculkan pilihan berita yang berkaitan dengan cepat. Saya jadi mengetahui bahwa berita terkait dengan kata kunci yang saya ketikkan di kolom Search itu cukup banyak tersedia.
Viva juga mempertahankan shortcut segmen-segmen yang tersedia di bagian kanan situs, sehingga memudahkan saya juga Anda untuk mengklik berita selanjutnya yang akan dinikmati.

Jelajah Portal Viva
Hal menarik lainnya yang saya sadari menjadi bagian dari Viva.co.id adalah jelajah portal lain yang berhubungan, seperti Viva Socio atau Viva Forum. Masing-masing portal ini memiliki warna-warna lembut tema berbeda. Misalnya Viva Socio dilambangkan dengan warna jingga. Selain itu, masing-masing portal juga dilambangkan dengan ikon berbeda, misal VivaLife memiliki ikon tas wanita yang cukup imut.
Saya baru menyadari bahwa portal-portal ini sebagian ditulis oleh para anggota portal yang bersangkutan. Beberapa beritanya mungkin harus ditanyakan keabsahannya, tapi saya pribadi sangat menikmati bagian ini. Terutama karena pemilihan warnanya yang benar-benar akrab dan meneduhkan mata. Good job!

Tampilan Viva via mobile
Sayang saya tidak memiliki screenshot tampilan Viva dari HP jadul saya, tapi saya tidak mengalami kesulitan berarti menikmati berita yang dimaksud. Memang butuh effort yang berbeda jika dibandingkan saat saya menggunakan gadget yang lebih sesuai, namun saya jarang sekali mengalami unable to open the page. Namun, saya sedikit kesulitan mencari tombol share jika saya online via HP.

Akhir kata, saya tidak akan menikmati berita-berita di Viva.co.id jika pihak admin tidak rajin berkicau di twitter. Saran saya sebaiknya pihak Viva meng-tweet info berita secara berkala, misal 10 menit sekali, jangan langsung berturut-turut. Dengan membaca tweet info berita Viva secara berkala, saya seakan selalu diingatkan untuk berkunjung. Dan kalau saya tidak menahan diri, saya bisa berlama-lama di Viva. Percayalah.




Rabu, 22 Agustus 2012

Mencicip Amore: Cinderella Tuathina



      • Penulis : Mimosa Q.
      • Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
      • Ukuran : 13.5 x 20 cm
      • Tebal : 208 halaman
      • Terbit : Agustus 2012
      • Kover : Softcover
      • ISBN : 978-979-22-8720-2

Awalnya, saya kira Amore ini adalah lini baru novel terbitan Gramedia. Oke, ralat, mungkin lini bukanlah istilah yang tepat. Mungkin seharusnya saya menyebutnya "genre"? Setelah Teenlit, Metropop, dan sejenisnya, sekarang ada logo Amore yang menandakan bahwa isi novel ini sedikit banyak akan berbeda dengan novel-novel yang telah terbit sebelumnya. Karena Amore sendiri kurang lebih berarti 'cinta', saya langsung membayangkan novel-novel roman Harlequinn yang sangat kental muatan cintanya. Apakah Amore ini menyerupai Harlequinn? Mari kita lihat...

Entah karena Amore ini adalah 'anak baru' Gramedia atau alasan lain, dari sedikit judul yang terlihat mata, desain kover novel-novel Amore cenderung tidak seragam. Belum ada ciri khas yang mencerminkan bahwa novel ini memiliki label Amore kecuali dari logonya. Asumsi saya, Amore masih dalam tahap pencarian jati diri dan ciri khasnya.

Sadira Devi, seorang gadis Indonesia, yang berkerja sebagai housekeeper di Hotel Rosalle di Tuathina, sebuah negara kecil dekat Italia, bertemu kembali dengan Zeus, cintanya di masa lalu. Siapa sangka, Zeus yang semakin tampan dan dewasa, mengajaknya makan malam romantis untuk kemudian kembali... mencampakkanya untuk kedua kalinya dengan kata-kata yang menorehkan luka mendalam di hati.

Seakan 'tamparan' bagi Sadira masih kurang, ia harus menghadapi badai salju yang mencegahnya keluar dari hotel tempat Zeus melemparnya bak lap pel. Agar diperbolehkan menumpang tidur di gudang karyawan, akhirnya Sadira memohon pada manajer hotel agar diperbolehkan menjadi housekeeper sementara selama badai. Apalagi kondisi hotel saat itu cukup ramai dan tambahan satu orang tenaga housekeeper akan sangat membantu. Jadilah Sadira pegawai hotel dadakan di sana dan dengan sangat terpaksa melayani penghuni kamar 513 yang sangat menyebalkan. Bagaimana tidak? Cowok yang tidak kalah ganteng dibandingkan Zeus itu hobi sekali menyiksa para housekeeper. Ia akan memastikan setiap sudut ruangan kamarnya dibersihkan. Kalau perlu, harus diulang dua atau tiga kali. Dan tentu saja, semuanya harus dilakukan dengan pengawasan ketat darinya! Sadira yang mulai merasa dirinya limbung, terselamatkan saat seorang staff housekeeper menjemputnya.

Sadira yang demam tinggi kaget setengah mati saat keesokan harinya terbangun di atas tempat tidur berlapis satin dengan hanya mengenakan pakaian dalam dan bukannya di gudang apek berdebu yang disiapkan oleh hotel tempatnya menumpang tidur! Jangan lupa, tambahkan seorang Alvaro yang menakjubkan, penghuni kamar 513, yang tertidur di sebelahnya... dan hanya mengenakan bokser. Eits, masih harus tambah satu kejutan lagi: Zeus juga menjadi saksi saat Sadira ada di tempat tidur Alvaro dengan pakaian minim.

Alvaro yang melihat situasi tersebut, menawarkan diri menjadi kekasih pura-pura Sadira. Apakah Sadira menerima tawaran tersebut? Bagaimana dengan cintanya pada Zeus? Apakah Sadira akan menemukan tambatan hatinya yang sesungguhnya?

Keluhan pertama saya dan terus berlanjut sampai halaman terakhir tercapai ada di bagian kover. Bukan desainnya, melainkan jenis kertas yang digunakan. Saya tidak tahu nama-nama kertas, tapi yang pasti kertas kover Cinderella Tuathina ini sangat kaku dan gampang terlipat. Belum apa-apa, kover novel saya sudah tertekuk-tekuk seakan patah dan hal ini sangat mengganggu saya. Seakan saya membaca buku ini dengan kasar, padahal yang terjadi sebaliknya. Buku yang cantik ini tampak seperti buku bekas yang dibaca oleh banyak orang...

Selain itu, saya menemukan beberapa kesalahan ketik yang walau mungkin tidak terlalu kentara, tapi sedikit banyak menganggu saya. Selain itu, di halaman  84 ada kesalahan yang sangat mengganggu di mana nama Alvaro malah tertulis sebagai Zeus...

Overall, menurut saya, ide cerita novel ini sebetulnya sudah basi. Sangat sesuai dengan judulnya, si miskin bertemu dengan si kaya, lalu mereka menjalin hubungan. Bukannya hal ini tidak mungkin terjadi, tapi... untuk saya terlalu banyak kebetulan dalam Cinderella Thuatina. Gampangnya saja, alangkah sempitnya dunia karena bisa-bisanya Sadira bertemu dengan sang mantan yang ingin dilupakan, tapi tidak bisa, di negara kecil di Eropa? Seakan belum cukup, kebetulan Sadira terjebak di hotel dan harus melayani Alvaro yang memiliki darah Indonesia (juga). Belum lagi, kebetulan Zeus dan Alvaro ternyata adalah sahabat dan mereka menjalin kerja sama. Tidak heran kalau kebetulan kedua pria yang sama-sama tampan, digilai para cewek, terkenal, kaya, memiliki separuh darah Indonesia, sama-sama jatuh cinta pada Sadira.

Di lain pihak, keseluruhan novel terlalu banyak membahas bagaimana perasaan Sadira (yang menurut saya terlalu berlebihan), juga penggambaran sosok Zeus atau Alvaro yang bak dewa. Saya jadi bertanya-tanya bagaimana sebetulnya kehidupan Sadira sebagai seorang housekeeper karena hampir seluruh halaman didominasi hal-hal di luar itu. Saya tidak tahu bagaimana cara Sadira membagi waktu antara menjadi housekeeper di sebuah hotel besar dan berkencan... Saya juga jadi menanyakan bagaimana Sadira mendapatkan sertifikat housekeeper internasional kalau begini cara kerjanya?

Chemistry antara Sadira dan Alvaro juga sama sekali tidak terasa. Alurnya seakan terburu-buru, sehingga saya tidak merasakan momen-momen berkesan yang membuat keduanya saling jatuh cinta. Mereka seakan-akan dipaksa untuk jatuh cinta sesuai skenario, bukan karena 'keinginan' masing-masing karakter. Selain Zeus dan Alvaro yang digambarkan too good to be true, Sadira juga diharuskan memiliki tampang cantik dan polos, dengan tubuh mungil yang akan membuat para pria paling tidak mencuri pandang minimal sekali padanya. Masa lalu antara Sadira dan Zeus juga tidak dibahas sama sekali (ya, buat saya SAMA SEKALI), padahal bila dipikirkan dengan akal sehat, bagaimana mungkin seorang rakyat jelata bisa menjalin hubungan dengan seorang pangeran? Saat Sadira kuliah? Sempatkah ia kuliah dengan kesibukannya mencari uang untuk pengobatan ibunya?

Seperti yang telah saya tulis sebelumnya, ide cerita novel ini mungkin saja sudah basi, tapi andaikan eksekusinya diubah sedikit, saya yakin Cinderella Thuatina akan menjadi cerita yang lebih berkesan (untuk saya). Saya berharap Zeus dan Alvaro tidaklah sesempurna itu. Dan mungkin saja ceritanya akan lebih masuk akal bila Sadira dan Zeus bertemu di Tuathina saat Sadira mendapat beasiswa kuliah di sana. Lalu, saat Sadira bekerja di hotel di Jakarta, Zeus yang memiliki darah Indonesia memang sengaja datang untuk mengurusi bisnis dari pihak neneknya. Alvaro sendiri adalah orang Indonesia tulen, yang tidak memiliki hubungan apa-apa dengan Zeus, kecuali sebagai saingan bisnis di bidang yang sama. Yah, saya yakin, dengan sedikit polesan, banyak revisi, dan bimbingan editor, Cinderella Tuathina ini akan jauh lebih menarik.

Novel debut Mimosa Q. dalam Amore ini mungkin akan menjadi batu pijakan pertama yang menjadi awal novel-novel berbobot karyanya lainnya. Saya yakin Mimosa akan dapat menulis lebih baik lagi ke depannya. Saya percaya.

Kamis, 16 Agustus 2012

Amazing 30-Melewati Usia 30 dengan Senyuman


Judul: Amazing 30 – Melewati Usia 30 dengan Senyuman
Penulis: Beta Kun Natapradja
Penerbit: Stiletto Book
Editor: Herlina P Dewi
Desain Cover: Icko Denotto & Felix Rubenta
Tebal: 170 halaman
Harga: 35.000



Berumur 30 itu musibah atau berkah? Tidak sedikit wanita yang takut menghadapi angka ini. Alasannya banyak, tentu saja. Dan 30 menjadi momok yang menakutkan bagi para wanita single walaupun pada kenyataannya hampir semua wanita mengalaminya. Yang belum menikah, umur 30 seakan menjadi angka keramat yang selalu mengingatkan untuk menikah sebelum umur tercapai. Yang sudah menikah, umur 30 menjadi sebuah pengingat bahwa umur Anda semakin bertambah dan itu berbanding terbalik dengan kecantikan yang kita miliki. Oh, wow.

Buku ini sedikit banyak menarik perhatian saya dengan judul yang cukup manis, "Amazing 30". Judul ini seakan menyebarkan pesan positif bahwa berumur 30 penuh dengan keajaiban dan kebahagiaan, sehingga Anda layak menyebutnya 'amazing'. Dapatkah kita menghadapi umur 30 dengan senyuman?

Beta Kun Natapradja membeberkan tips dan trik menghadapi usia 30. Masalah apa, sih, yang biasanya akan Anda hadapi? Masalah finansial? Jodoh? Apakah Anda memiliki daftar target yang harus Anda penuhi sebelum umur 30? Dan apakah semua target Anda itu berhasil Anda tercapai? Beta Kun mencoba mengajak Anda berhenti sejenak, meresapi hal-hal positif dari umur 30 dan tersenyum menyambutnya.

"Tak perlu menunggu hujan atau pergantian sinar matahari utk bertemu pelangi. Dia akan selalu ada di dlm hati kita. Pelangi membuat hidupmu lebih berwarna."

Bagi Anda yang pusing mengenai masalah finansial, Anda harus mencicipi bab pertama buku ini. Beta kun akan membantu Anda membuat skala prioritas target-target yang ingin Anda capai. Tentu saja, dilengkapi dengan langkah-langkah yang harus Anda lakukan untuk mencapainya.

Bagaimana dengan Anda yang sudah atau belum memiliki pasangan? Memiliki atau belum, pasangan menjadi 'masalah' dalam hidup para wanita 30 tahun. Anda yang sudah memiliki pasangan akan dipusingkan dengan hubungan emosional antara kedua belah pihak, sementara yang belum memilikinya harus cemas saat menanti sang pangeran berkuda putih (atau mungkin sekarang seharusnya bermobil putih?). Belum lagi pertanyaan, "Kapan? Kapan? Kapan?" yang selalu menghantui.

Konflik biasanya akan muncul dalam kehidupan bersama orang lain. Anda tidak mungkin menghindarinya. Nah, perlu cara untuk menghadapinya. Jangan sampai konflik itu terus memengaruhi hidup Anda dalam bentuk aura negatif, kan? Beta Kun juga menyarangkan agar Anda tetap memiliki "me time", melakukan hal-hal yang Anda sukai untuk menghilangkan stress yang melanda dan membuat syaraf-syaraf Anda yang tegang menjadi lebih santai....

Menjadi 30 bukanlah musibah, percayalah. Itu semua tergantung bagaimana Anda menghadapinya. Beta Kun berhasil memaparkan bahwa menjadi 30 merupakan fase menyenangkan dalam hidup. Anda memiliki kesempatan untuk mengisi toples Anda sendiri dengan berbagai bumbu kehidupan sehingga hidup Anda lebih berasa. Seperti masakan, apalah enaknya jika tidak ada asam dan garam?

Salah satu yang menarik dari buku ini adalah quote-quote yang sangat mengena tapi memberikan arti positif. Anda juga dapat menemukan kisah-kisah nyata yaang dialami beberapa orang, termasuk Beta Kun, dalam menghadapi usia 30. Gaya bertuturnya ringan, sehingga Anda dapat menikmatinya sampai halaman terakhir. Mungkin masalah yang Anda hadapi juga dialami oleh orang lain dan Anda dapat melihat permasalahan itu dari sudut pandang lain melalui cerita-cerita di buku ini.

Keluhan saya ada pada mutu cetak yang kadang-kadang tipis atau berbayang. Ukuran font juga kecil dan rapat, sehingga terkesan 'bulky' dan mungkin akan membuat pembaca yang memiliki silider agak kesulitan membacanya. Namun, di luar itu, kovernya sungguh menawan sehingga awalnya saya sempat mengira buku ini adalah novel, bukannya bertipe non-fiksi yang dapat mencerahkan hidup Anda, seperti bagaimana ia mencerahkan hidup saya.

Saya yakin masih banyak sekali alasan-alasan yang mengganggu wanita menghadapi umur 30. Apakah saya salah satunya? Ada kata pepatah yang mengatakan, "Life begins at thirty." Apakah betul begitu? Andalah yang mampu menjawabnya. Karena mau atau tidak, usia 30 akan datang menghampiri. Jadi, kenapa tidak menyambutnya dengan senyuman?

"Tanpa doa, kita tak kan sanggup menghadapi segala yang ada di dunia. Perlahan, rasa optimis akan terus ada walau dalam perjalanannya sangat berat."

Mencicipi Sejarah: Tragedi Gadis Parijs van Java




Judul: Tragedi Gadis Parijs van Java
Penerbit: Edelweiss
Pengarang: Ganu van Dort
Format: 13 x 20,5 cm
ISBN: 978-602-8672-14-6
Jumlah halaman: vi + 398
Harga: Rp48.000,00
Soft cover
Terbit: 16 Januari 2012

Awalnya saya tertarik membeli buku ini karena ada info lomba resensi dari Penerbit Edelweiss. Bukan berarti sebagian buku saya beli karena tujuan resensi. Kadang-kadang saya memilih untuk melewatkan lomba tersebut bila bukunya tidak menarik (perhatian) saya. Namun, buku yang ini lain cerita.

Seperti biasa, saat ingin membeli buku yang tidak ada di daftar belanja, saya akan mencari info sebanyak-banyaknya tentang buku ini. Dan ternyata... Info mengenai buku ini sedikit sekali. Saya hanya berhasil menemukan satu info melalui mesin pencari, selain info yang diberikan oleh penerbitnya sendiri. Dari info yang sedikit itu, pembahasan mengenai novel ini juga sangat singkat selain 'pendeskripsian tentang Bandung-nya detail sekali'. Siapa sangka hal itu malah menggugah rasa penasaran saya?

Berbeda dengan buku-buku lain yang saya beli, begitu novel Tragedi Gadis Parisj van Java ini tiba di rumah, saya langsung membuka segelnya dan mengintip dalamnya. Tapi, sebelumnya, saya mengagumi terlebih dahulu kecantikan wanita yang terpampang di kover novel ini :) Saya membayangkan seperti apa ya wajahnya jika matanya terbuka?

Buku ini kurang lebih bercerita mengenai tokoh sentral, Laura Hessels, seorang wanita keturunan Belanda tulen yang akhirnya menjadi mualaf dan mengganti namanya menjadi Fatimah saat menikah dengan Djaja Soeriadiredja, seorang pribumi dari kelas bangsawan. Mengambil setting di Bandoeng (ya, Bandung dengan ejaan lama) tempo dulu, saat menjadi salah satu kota terindah di pulau Jawa menurut para Welanda. 

Jansens Kloosmayer dan istrinya, Mien, dibunuh secara kejam pada suatu malam oleh seorang pribumi, Madhapi. Konon, Madhapi diperintahkan oleh seorang Belanda yang misterius untuk membunuh pasutri yang pro "Politik Etika" dan menculik putri semata wayangnya, Laura, yang saat itu menjadi salah siswi terbaik HBS atau sekolah menengah atas untuk anak-anak Belanda dan anak-anak pribumi yang memiliki darah ningrat. Pembunuhan itu menyisakan misteri, juga duka mendalam pada Laura yang pada akhirnya diangkat anak oleh pamannya.

Laura masih tidak dapat hidup tenang. Selama ia tinggal di Bandoeng, Madhapi begitu setia menguntitnya dan tetap berusaha untuk menculiknya, sehingga Laura tidak memiliki pilihan selain meminta Djaja, teman sekelasnya di HBS yang jago pencak, untuk menjadi pengawalnya setelah kasus pelecehan seksual yang dilakukan Jantje Ijzerman, cinta pertama Laura. Hubungan antara Laura dan Djaja semakin dekat sampai akhirnya mereka resmi menjadi sepasang kekasih..

Bahkan, saat Laura dan Djaja akan merayakan hari terakhir Laura di Bandoeng sebelum berangkat sekolah kedokteran di Batavia, Madhapi berhasil menyeret Laura masuk ke Sungai Tjikapoendoeng yang berarus sangat deras. Djaja yang panik melihat kekasihnya timbul tenggelam di sungai tidak berpikir panjang langsung terjun untuk menyelamatkan Laura. Andaikan telat 10 menit saja, bisa dipastikan Laura sudah menemui ajal... Lagi-lagi, Madhapi berhasil lolos dari kejaran para polisi.

Laura dapat bernapas lega saat ia menuntut ilmu kedokteran sesuai wasiat ayahnya di Batavia. Selama tinggal di rumah Opa Bobbeke dan Oma Witteke, Laura juga dijaga oleh pamannya yang mantan KNIL. Karena itu, Laura dapat menyelesaikan pendidikannya dengan predikat cum laude, sementara Djaja akhirnya menjadi seorang reporter di kantor De Vrije Pers. Selama mereka dipisahkan jarak, mereka rajin berkirim surat atau bahkan saling mengunjungi di saat senggang.

Masalah kembali menghantuin Laura saat ia kembali ke Bandoeng. Belum apa-apa, Madhapi sudah mengincar gadis ini. Tidak tanggung-tanggung, Madhapi menyusup masuk ke dalam kamar Laura! Walau Djaja sudah memikirkan taktik untuk meringkus pria kejam ini, tidak urung dia berhasil kabur sambil membawa Atjih, jongos Laura, bahkan menodainya...

Butiran pasir sejarah telah bergulir. Laura, Djaja, Jantje, semuanya tidak dapat menolak takdirnya. Saat Djaja menulis artikel yang menyinggung pihak Belanda, ia tidak dapat menolak saat ia harus dibuang ke Suriname dan ternyata pesawat Jepang menembaki kapal yang ditumpangi Djaja. Begitu juga saat Laura harus masuk kamp yang diawasi tentara Jepang yang kejam. Mereka tidak dapat melawannya...

Bagaimana kisah hidup Laura dan Djaja? Apakah mereka dapat tersenyum menikmati hari-hari damai setelah kemerdekaan Indonesia? Apakah Laura dapat bertahan sebagai mualafsaat menikah dengan Djaja? Ataukah sejarah kembali tertawa melihat bagaimana putaran roda nasib membawa seluruh pelakon kehidupan ini?

Kita dibawa menyusuri kota Bandoeng dari awal cerita sampai akhir. Ganu van Dort berhasil menggali jejak-jejak kenangan yang menyertai kota Bandoeng, terutama tempat-tempat yang sejak awal bukanlah fiktif. Saya sedikit termangu-mangu membaca fakta-fakta mengenai kota Bandoeng, misalnya dahulu Jl. Braga disebut Bragaweg dan betapa orang-orang Belanda itu sangat suka tinggal di Bandoeng.

Ada beberapa hal yang mengganggu saya saat membaca novel ini, antara lain:
1.       Tanda baca. Saya perhatikan banyak tanda koma yang tidak pada tempatnya. Saat tidak dibutuhkan koma, saya menemukan tanda ini. Begitu juga sebaliknya. Mungkin tidak terlalu mengganggu, tapi untuk saya, iya.
2.       Footnote. Penulisan nomor footnote tidak seragam. Ada yang ditulis langsung menempel pada kata yang akan diterangkan, misal Bragaweg1, sementara di kata lain terpisah oleh tanda baca, misal Insulinde?34. Bahkan ada pula nomor yang ditulis di depan kata tersebut.
3.       Terlalu banyak footnote. Saya menyadari bahwa penggunaan istilah asing yang didominasi bahasa Belanda tidak dapat dihindari. Tapi saya menyarankan agar dialog dalam bahasa Belanda sebaiknya langsung saja diterjemahkan di sebelahnya, jangan berupa footnote. Contoh: “Waarom niet? Kenapa tidak?” balas nyonya rumah.
4.       Penggunaan tanda kutip dan italic. Kembali pada poin tiga, banyak sekali kata-kata dalam bahasa asing yang dituliskan dengan huruf miring SEKALIGUS ditambahkan tanda kutip. Seingat saya, jika sudah diberikan tanda kutip, maka kata tersebut tidak perlu dimiringkan.
5.       Huruf kapital. Karena salah tanda baca, yang seharusnya koma menjadi titik atau sebaliknya, beberapa kata jadi tidak sesuai kaidah. Yang seharusnya kapital malah huruf kecil.
6.       Ketidakkonsistenan. Ini berlaku baik untuk footnote atau istilah yang dipakai. MisalnyaInsulinde beberapa kali ditulis Isulinde sehingga saya harus memastikan kembali istilah mana yang benar. Keterangan footnote juga terkadang memakai huruf miring, tapi di lain kesempatan huruf tegak.

Saya pribadi merasa bahwa penggunaan kata ‘Tragedi’ pada judul kurang tepat. Memang betul Laura mengalami beberapa musibah dalam hidupnya, tapi itu bukan berarti seluruh isi buku ini berupa tragedi. Gara-gara kata yang satu ini, saya sedikit berharap dari awal buku sudah diwarnai tragedi.

Selain itu, info-info menyangkut sejarah Indonesia sejatinya cukup menarik. Namun, ada beberapa bagian yang menurut saya bisa disingkat agar pembaca tidak terlalu bosan. Saya dapat melihat bahwa sejarah di sini bukan sekadar tempelan, melainkan para tokohnya memang melintasi waktu mengikuti jejak sejarah Indonesia. Saya seakan melihat sejarah Indonesia dari sudut pandang yang lain, sudut yang sangat berbeda dari buku sejarah yang selama ini saya lalap di bangku sekolah.

Saya pribadi merasa misteri yang melingkupi Laura kurang kuat. Siapakah orang Belanda misterius yang memerintahkan membunuh keluarga Laura memang terjawab di akhir cerita, namun sepak terjangnya sama sekali tidak kental. Dan setelah rentang waktu yang begitu lama sejak awal sampai akhir cerita, saya merasakan bahwa karakter tersebut ‘kebetulan’ dapat bertahan hidup tanpa masalah sementara para karakter utama kita harus jatuh bangun bertahan hidup. Alasan kenapa karakter misterius tersebut melakukan hal tersebut juga kurang digarap karena hanya muncul di sepertiga awal dan akhir saja.

Namun, saya cukup kagum karena beberapa karakter pedamping yang saya pikir tidak ada gunanya dalam cerita, tapi ternyata memiliki peran yang cukup penting di bagian akhir. Ternyata Jantje, Wiwin, atau Doedoeng memiliki perannya masing-masing, seperti mungkin kita menganggap remeh orang lain tapi ia membawa perubahan dalam diri kita.

Akhir kata, membaca buku ini membuat saya menahan napas, membayangkan apabila saya adalah Laura, apakah saya dapat setegar dirinya menghadapi takdir yang membawa pergi segalanya? Buku ini tidak memiliki ending yang saya harapkan, namun seperti itulah hidup. Tidak selamanya sesuai yang kita inginkan, tapi kita harus menghadapinya dengan kuat dan selalu tersenyum demi masa depan yang mungkin saja akan lebih baik.

"Dag Bandoeng, ik herineer je altijd... Selamat tinggal, Bandoeng, aku sangat mengenangmu..."

Kamis, 02 Agustus 2012

My Fav: Flower and The Beast


Kovernya lucu juga. Ini komentar pertama saya saat melihatnya di tumblr @mnccomics. Saya kenal (eh, tahu, ding) pengarangnya, Miwako Sugiyama, juga baca karya-karyanya yang lain. Sejujurnya, ada yang saya suka, ada juga yang sekilas baca. Tapi, gambarnya memang menarik ^__^

Anyway, kovernya menjadi salah satu yang mendorong saya membeli komik ini karena sinopsisnya, IMO, kurang mewakili apa isinya. Judul Flower and the Beast sendiri terkesan sangat umum tapi cukup mewakili kira-kira seperti apa komiknya nanti :) Tebakan saya: pasti ada karakter yang 'cantik' seperti bunga dan ditemani dengan karakter yang... yah, mirip-mirip karakter The Beast (what do you expect, huh?). Tapiiiii... yang paling mengganggu saya adalah font judul yang biasa banget >.< Nggak nendang, blas (emang bola??). Seharusnya fontnya lebih girly dipadu dengan warna  yang outstanding...

Kumi Kamakura yang baru pindah sekolah ke Tokyo belum apa-apa menyasarkan diri ke ruangan yang mirip gudang daripada gudang kelas. Saat melihat-lihat ruangan tersebut, ia bertemu dengan Hyou yang akhirnya malah menolongnya dari pecahan gelas. Cowok playboy ini akhirnya terpaksa menemani Kumi keliling sekolah...

Kumi jatuh cinta pada pandangan pertama pada Hyou saat cowok itu menemukan tas beruang yang selalu dibawa-bawa Kumi. Cowok itu mencium beruang itu *kyaaa* dan langsung membuat hati Kumi meleleh. Tapi... Hyou bukan tipe cowok yang patut dijadikan kekasih. Kenapa? Dia playboy tulen, yang hobinya mencium para gadis *yaiks*

Kumi ingin membenci Hyou, cowok menyebalkan yang hobi mempermainkannya. Tapi apa daya... Hatinya berkata lain. Kumi bingung bagaimana caranya menghentikan perasaannya terhadap Hyou... Awh, co cweet <3

Di saat galau mendera, muncul cowok cakep lain dalam kehidupan Kumi, Tatsuki *Kyaaaa, jejeritan lagi* Entah apa tujuan Tatsuki mendekati Kumi, yang pasti Hyou jadi uring-uringan. Ia seakan disadarkan bahwa mungkin saja Kumi, gadis yang sudah menolaknya, tapi selalu menatapnya dengan wajah memerah, adalah orang yang tepat untuk mengajarkan Hyou cara mencintai yang sebenarnya. Saat kau menyerahkan hatimu hanya pada satu orang...

Volume 1 belum terlalu terasa gregetnya, tapi saya sudah merasa gemas pada Kumi yang terlalu malu-malu. Hajar saja langsung si Hyou, Kumi!! Saya juga ingin sekali mengguncang-guncang Hyou sekaligus berteriak di telinganya pakai toa agar dia kembali ke jalan yang benar *eh* Kira-kira apa yang bakal terjadi pada mereka, ya, sampai akhirnya masing-masing dapat mengungkapkan apa yang ada di arti mereka dan mengerti apa itu cinta...

Komik ini membuat saya mengenang kembali masa-masa SMA saya. Tentu saja tidak ada cowok cakep seperti Hyou yang terjerat hati saya (walau saya banyak menjeratkan diri pada cowok-cowok cakep di sekolah, ahaha). Kumi seperti perwakilan para remaja yang galau dan bingung karena cinta (dan bukan hanya karena pelajaran), dengan berbagai alasan yang mungkin tidak bisa dimengerti oleh orang dewasa. Walau masih 'anak-anak', mereka juga mengenal apa itu rasa sayang dan cinta, yang akan membentuk mereka saat mereka dewasa nanti.

Membaca edisi terjemahan keluaran @mnccomics ini sangat nyaman karena terjemahan dan editannya yang rapi (yah, walau ada beberapa salah ketik atau penempatan dialog juga, sih). Flower and The Beast akan menjadi salah satu komik yang berdiam di lemari buku saya ^^

Happy reading, everyone!