Photobucket

Senin, 10 Juni 2013

Seven Days yang Sangat Berarti


Pernahkah terbayang kalau dalam waktu yang singkat, tujuh hari, tersimpan sebuah titik balik yang akan menentukan hidupmu selanjutnya? Dalam waktu tujuh hari itu, kamu mendapatkan semacam pencerahan yang membawamu pada kesadaran baru?

Penulis: Rhein Fathia
Penerbit: Penerbit Mizan 


Alnilam Rahman Soeminta sedang terombang-ambing dalam memberikan jawaban atas lamaran Reza, kekasih yang sudah mendampinginya selama tiga tahun. Di tengah kebingungan Nilam, Shen Luthfi Ardiwinata, sahabat sejak kecil Nilam, mengajak gadis itu melanglang buana ke Bali. Dengan segala kebesaran hatinya, Reza mengizinkan pacarnya itu untuk berpetualang berdua saja dengan Shen karena ia sibuk dengan ‘kegiatan jantan’-nya… Siapa sangka, perjalanan bersama Shen selama tujuh hari membuka kesadaran Nilam mengenai siapa yang sesunggunya dicintainya….

Sejak awal, pola cerita maupun ending ceritanya sudah dapat saya tebak. Karena itu, saya berharap ada konflik yang cukup mengaduk-aduk perasaan saya dibandingkan sekadar catatan perjalanan Nilam dan Shen di Bali. Sayangnya, chemistry itu kurang kuat terasa karena karakter-karakter di buku ini terlalu manis. Ya, Shen, Reza, atau Nilam semuanya seakan tidak punya sisi jahat. Shen, yang lembut dan ‘takluk’ pada Nilam, rasanya tidak pernah marah atau melakukan sesuatu yang dapat dimaki-maki Nilam. Bahkan setelah Shen mencium Nilam (tentu dalam scene yang tenang dan damai, bukannya menggebu-gebu sampai membuahkan tamparan). Nilam sendiri bukan seorang pemberontak yang bisa diusir dari rumah atau pengangguran yang dapat membuat ortu marah-marah atau cewek brengsek yang bisa bikin Shen naik darah. Bukan, Nilam adalah gadis baik hati, jago menggambar, tidak kekurangan suatu apa pun, kecuali baru menyadari perasaannya setelah agak sedikit terlambat. Reza sendiri terasa sebagai tempelan saja supaya ada orang ketiga yang mengganggu hubungan Shen dan Nilam. Sayangnya (lagi), Reza tidak memenuhi syarat sebagai tipikal orang ketiga yang menyebalkan, menyusahkan, dan minta ditampol karena ia memiliki hati dan kesabaran seluas samudera….

Shen digambarkan agak misterius, namun ia tetap sangat perhatian pada Nilam. Shen lebih mirip induk burung yang terlalu mengurusi Nilam yang manja. Saya membayangkan andaikan Nilam tersesat seorang diri di Bali, apa yang akan ia lakukan, ya? Saya tidak merasakan adanya peningkatan karakter Nilam, selain dari dia tidak menyadari sampai menyadari isi hatinya sesungguhnya. Padahal, ketiga karakter ini sangat berpotensi membuat pembaca seperti saya menahan napas atau malah memiliki ambisi untuk memaki salah satu tokohnya. Yang ingin saya maki mungkin malah Shen, karena ia terlalu baik dan ngurusin Nilam.

Kelebihan utama buku ini mungkin nuansa Bali yang bertebaran di mana-mana. Penggambaran suasananya tidak akan sama jika penulisnya belum pernah menjelajah Pulau Dewata itu. Walau tetap saja saya merasa alurnya terlalu lambat, sampai-sampai Nilam harus mengucapkan salam hampir di setiap kesempatan. Andaikan Rhein memasukkan unsur kejutan di berbagai bagian mungkin akan membawa greget lebih pada buku ini. Jujur, saya tadinya ingin membuat fanfic kasus penculikan Nilam selama tujuh hari di Bali. Tapi, mengingat ketersediaan ide di otak saya, akhirnya ide itu menguap begitu saja :)

Anyway, saya menyukai nuansa jingga yang bertaburan di novel ini. Walau saya tidak dapat mengerti apa maksud awan dan dua hati di sampul depan, tapi warnanya yang hangat seakan menjanjikan cerita yang hangat juga. Terlebih lagi, ornamen di bagian awal bab maupun di sudut kiri bawah halaman juga memberikan warna berbeda. Tapi, saya tidak suka format buku ini. Dengan jumlah halaman mencapai 280 halaman, buku ini terlalu sempit, sehingga sering kali ‘terlontar’ dari pegangan saya. Jenis kertas kovernya pun mudah sekali kusut. Andaikan buku dibuat lebih lebar sedikit, mungkin saya tidak perlu was-was bukunya semakin kusut setiap kali saya baca…

Cinta itu perjuangan. Semuanya perlu direncanakan, dipikirkan masak-masak, diperhitungkan, diusahakan, sebagai wujud cinta. Tidak ada yang lebih membahagiakan selain melihat sosok yang kita cintai bahagia. Cinta tidak pernah memaksa kita untuk memilih, hiduplah yang mengharuskan untuk memilih. Termasuk memilih, kita ingin hidup dengan siapa…

Delapan Jam bersama Haram Keliling Dunia


Saya tidak suka travelling, jadilah saya jarang membaca buku-buku yang isinya tentang jalan-jalan. Terlebih lagi, saya tidak suka dengan buku yang malah bercerita, “Lo mau tahu gue ngapain aja di LN?” Jadi, saya sempat malas-malasan membaca Haram Keliling Dunia yang dikirimkan oleh seorang teman. Yang terlintas pertama kali mendengar judulnya tentu saja, “Apa-apaan, tuh? Memangnya ada hukumnya haram keliling dunia?” Ternyata, memang tidak boleh berpikir aneh-aneh dulu sebelum kenal langsung sama buku yang satu ini.
 
Penulis:Nur Febriani Wardi
Penerbit:Gramedia
Rencana Terbit:April 2013
Jenis Cover:Soft Cover
Halaman:316
Ukuran:135 x 200 mm
Berat:350 gram
Harga:Rp58.000,-



Oke, tampilan luarnya cakep, nih. Yah, walau gara-gara warnanya yang senada, keseluruhan gambar dan tulisannya malah tenggelam. Memang menyatu, sih, tapi dari kejauhan nuansanya jadi flat kecokelatan. Eh? Apa? Bagian ini tidak terlalu penting? Oke, kita pindah ke langsung ke bagian yang menarik perhatian saya saat skimming awal: tata letaknya! (Maaf kalau saya malah membahas bagian ini duluan, soalnya memang inilah yang menarik perhatian saya sejak awal).

(Hampir) seluruh halaman diberi bingkai dengan efek kertas kusut. Menarik, sih, memberi kesan berbeda, tapi… kenapa kertas kusut? Sebetulnya memang tidak penting, sih, tapi mungkin akan lebih pas kalau diberi tekstur yang mengingatkan akan jalan-jalan. Entah apa itu #plak Saya agak terganggu dengan tulisan ‘Haram Keliling Dunia’ di bagian atas halaman, seakan-akan saya terus diingatkan kalau buku yang saya baca itu adalah HKD, bukan KBBI. Padahal, ornamen pelengkap seperti gambar Menara Eiffel, Kakbah (dan saya tidak terbiasa dengan istilah ini karena lebih klik dengan Ka’bah), atau double decker di sampul akan sangat imut kalau diletakkan di sudut-sudut halaman.

Masih soal tata letak. Saya menikmati membaca bku ini selain karena isinya, tetapi juga karena ukuran hurufnya yang pas. Tidak terlalu besar atau kecil, jenisnya pun memiliki bentuk yang jelas. Yang jadi masalah adalah peletakan fotonya. Pertama, sering kali foto-fotonya dijejalkan begitu saja di satu halaman, bertumpukan dan sebagian kurang jelas (iya, buku ini dicetak BW, jadi detailnya tidak kelihatan, bla bla). Selain itu, pin yang dianalogikan sebagai benda untuk menancapkan foto-foto tersebut di dinding halaman malah mengganggu karena warnanya yang bercampur dengan foto secara keseluruhan dan kehilangan fungsinya sebagai ornamen. Foto pun sebagian tidak diberi keterangan, padahal saya ingin tahu apa yang seharusnya diceritakan foto itu. Belum lagi beberapa foto letaknya terlalu mepet ke tepi…

Ah, sudah, tinggalkan uneg-uneg saya soal tampilan fisik buku ini. Seperti yang saya bilang, saya tidak suka buku yang sibuk menceritakan pendapat pribadi si penulis ketika ia jalan-jalan. Tapi, saya dapat terhanyut *tsah* dalam kalimat-kalimat yang dituturkan Nur (sok akrab, deh, gue!). Judulnya yang ambigu itu langsung dijelaskan di bab awal. Oh, ternyata maksud ‘haram’ itu bukan haram dalam hukum Islam, melainkan mengacu pada Tanah Haram. *angguk-angguk*

Yang menarik adalah Nur berhasil menunjukkan hal unik dari tempat-tempat yang ia kunjungi. Salah satu bagian yang paling saya ingat adalah adanya larangan memotret di sekitar Masjidil Haram. Ada satu lagi yang saya ingat: bagian mengenai Pompeii. Sebelumnya, saya membaca sebuah judul komik dengan seting masa lalu Pompeii, lengkap dengan Gunung Vesuvius yang meletus. Namun, dari penjelasan Nur, saya dapat mengambil kesimpulan baru yang membuat saya terpana seakan baru menemukan ilmu pengetahuan baru.

Tebak, bagian mana lagi yang saya suka? He he, saya jatuh cinta pada bagian pelayaran di kapal Henry Dunant. Walau saya berusaha keras membayangkan seperti apa suasana di atas kapal berisi kru dan tamu-tamu yang usianya sudah tidak muda lagi. Bekerja menjadi kru kapal tanpa pengalaman dan bahasa memadai pastilah bukan hal mudah, tapi Nur seakan membuktikan, “Kalau ada kemauan, pasti ada jalan.” (Walaupun tinggi badan tidak menolong, he he).

Adik saya juga mengambil beasiswa yang sama dengan Nur walaupun mengambil jurusan yang berbeda. Selama saya membaca HKD, saya juga berkali-kali bertanya-tanya ini-itu, siapa tahu adik saya juga menjejakkan kaki di tempat yang sama dijelajahi oleh Nur. Gara-gara sesi wawancara itu, saya juga jadi penasaran, biaya dari manakah sehingga Nur dapat berplesir? Mungkin ini rahasia perusahaan, tapi ada baiknya Nur juga menjelaskan kalau ia butuh bekerja paruh waktu sekian lama dengan gaji sekian untuk jalan-jalan ke anu. Yah, setidaknya pembaca yang tergoda meniru jejak Nur juga dapat mempersiapkan dana awalnya :)

Eits, ada yang nyaris terlupakan! Saya suka sekali dengan quote yang disertakan di setiap awal bab. Terutama Nur mengambilnya dari peribahasa setempat, termasuk quote ala Nur sendiri ^__^ Quote yang paling nendang mungkin yang ini à A stitch in time saves nine. Intinya jangan suka menunda-nunda sesuatu, seperti yang saya lakukan untuk post review ini di blog dan membuat saya entah masuk nominasi dalam kuis yang diadakan Nur atau tidak, a ha ha.

Melalui HKD, saya seakan dibawa berjalan-jalan menjelajahi tempat-tempat yang dikunjungi Nur dan berhenti sejenak meresapi setiap ciptaan-Nya. Saya ingin ke Swiss. Membaca cerita Nur, saya semakin ingin ke sana. Ditambah Pompeii, tentu saja. Saya ingin menyaksikan sendiri ‘peninggalan-peninggalan’ mesum yang konon masih tersisa di sana sini, he he. Dan tentu saja, semoga awal perjalanan saya nanti juga bermula dari Tanah Haram. Amin.

Jumat, 31 Mei 2013

Saat Cinta Datang Melalui My DNA Love's



Judul novel: My DNA Love's
Penulis: Sienta Sasika Novel
Penerbit: Rumah Kreasi
ISBN: 786027517141
Harga novel: Rp34.000,-
Info lomba: http://www.sientasasikanovel.com/2013/04/lomba-review-novel-karya-sienta-sasika.html?m=1


Sinopsis:Jatuh cinta? pikir Sienta saat melihat sosok Bintang yang telah menjadi suaminya karena perjodohan yang dilakukan orangtua masing-masing. Gue? Jatuh cinta? Nggak mungkin, Sienta tersenyum geli. Sangat tidak mungkin kalau dirinya jatuh cinta pada Bintang. Laki-laki seperti Bintang? Jauh dari kriterianya, bahkan untuk jadi teman saja tidak mungkin, apalagi kalau dia jatuh cinta. Cinta di ujung samudera memang sepertinya masih indah...

Novel My DNA Love's bercerita mengenai Sienta dan Bintang yang mendadak dijodohkan begitu saja karena keegoisan orangtua mereka. Keduanya menolak tegas menggunakan berbagai alasan, tapi semuanya dimentahkan oleh para orangtua. Tanpa dapat dicegah, status Sienta dan Bintang pun mendadak menjadi istri dan suami! Pernikahan seperti apakah yang harus dijalani pasangan yang boro-boro saling menyukai barang sedikit, tapi saling membenci ini? Mereka harus menyiasati pernikahan kacau balau itu dari orangtua mereka yang berharap begitu banyak, sekaligus membuktikan kalau mereka tidak akan dapat mempertahankan perkawinan itu. Tapi, siapa yang tahu masa depan?

Ide ceritanya cukup menarik, nih. Orangtua sering kali menjodohkan anaknya begitu saja, tidak peduli zaman sudah berubah dan protes yang dilemparkan pihak yang akan dijodohkan. Hanya saja, saya kurang melihat apa alasan kuat di balik perjodohan itu. Orangtua Sienta dan Bintang masing-masing begitu egois (berdasarkan dialog-dialog para ortu yang hanya meyakinkan putra putri mereka untuk menikah terus menerus plus mengatur segalanya tanpa persetujuan para calon), yakin kalau kedua anak mereka akan saling menyambut pernikahan itu dengan suka cita (tentu dengan mengabaikan segala keluhan dan protes yang muncul). Walau sempat disinggung kalau keluarga Bintang pernah berjasa pada keluarga Sienta, saya tidak dapat menemukan jasa apa sebenarnya yang dimaksud sampai akhir halaman (atau saya yang kelewatan membacanya?).

Saya ingin sekali menjitak kepala Sienta yang kerjaannya mengomel sepanjang waktu. Oke, saya tahu kamu tidak suka dijodohkan, tapi kalau kalimat yang kurang lebih mirip diulang-ulang terus, rasanya jadi biasa saja. Selain itu, banyak dialog-dialog serta adegan yang menurut saya bisa dibuang karena membuat alur menjadi lambat dan saya melewatkan beberapa halaman begitu saja. Termasuk sumpah serapah yang dilancarkan Sienta pada Bintang :) Dan rasanya tidak perlu mengulang-ulang fakta selisih umur 7 tahun dalam intensitas yang cukup sering dan berdekatan.

Saya juga tidak mengerti apa sebetulnya karakter dan pekerjaan Bintang. Bagaimana ia bisa begitu cuek menabrak seseorang dengan motornya sampai si korban terpelanting dan tidak merasa bersalah? Pun alasan Bintang menerima perjodohan (dan pernikahan) itu hanya demi ibunya yang memiliki penyakit jantung... Hm....

Karakter paling menyebalkan di buku ini bukanlah Andrea atau Lia yang suka mengganggu rumah tangga kedua tokoh utama. Penasaran siapa? Saya sebal sekali dengan para orangtua yang semaunya sendiri. Bahkan saat anaknya sedang berbulan madu pun terus saja diteror -,- Kalau hal ini sampai terjadi pada saya, wah, bisa-bisa saya ngomel-ngomel tiada henti.

Yang saya bingung, bagaimana cara Andrea mencari tahu lokasi bulan madu Sienta dan Bintang, sementara kedua tokoh utama kita ini saja tidak mengetahuinya. Apakah Andrea membuntuti salah satu orangtua ketika ia sedang membelikan paket bulan madu untuk sang pengantin baru? Atau Andrea menggunakan ilmu kebatinan? Atau ini hanya kebetulan saja seperti yang sering terjadi dalam hidup ini?

Saya merasa konflik hati Sienta kuranglah kuat. Ia lebih banyak meributkan hal-hal tidak penting bersama Bintang, sehingga saat Sienta jatuh cinta sungguhan pada Bintang terasa datar-datar saja. Saya tidak dapat merasakan greget, padahal cerita ini mempunyai potensi sangat besar untuk membuat saya menahan napas. Saya juga tidak menemukan titik di mana Bintang benar-benar peduli pada Sienta.

'Ceritanya' Bintang dan Sienta, ehe
Oh, ya, karakter Bintang dan Sienta ini mengingatkan saya pada pasangan norak di seri drama korea Full House, jadi saya membayangkan adegan jambak-jambakan Bintang dan Sienta (iya, saya berlebihan, ha ha) ala adegan di drama itu :))

Anyway, saya menyukai tata letak novel ini. Ada ornamen burung yang imut di awal bab dan nomor halaman yang tidak kalah manisnya. Sayangnya, jenis huruf font judul bab sama sekali tidak cocok dengan jenis cerita ini. Font yang digunakan lebih masuk dalam cerita fantasi atau sesuatu yang bertema gotik, bukan kisah cinta komedi seperti My DNA Love's. Oh, ya, saya juga tidak mengerti apa maksud atau arti judul My DNA Love's ini... Dan karena saya sama sekali tidak mudeng, saya tidak mau berandai-andai kemungkinan artinya.
Ada sepasang burung di awal bab

Mungkin salah satu hal yang harus diperhatikan oleh pihak penerbit adalah banyaknya kesalahan ketik yang sangat fatal. Kesalahan itu bukan sekadar mengetik 'yang' menjadi 'yagn', melainkan banyak subjek yang hilang atau bahkan kalimat tidak selesai. Misalnya: "Ahhh menarik napas panjang." (halaman 17). Yang menarik napas apakah si Aah? Selain itu, walau font yang digunakan dalam badan teks cukup 'berbeda' dengan novel-novel lainnya, garisnya terlalu tipis dan jaraknya terlalu rapat. Untuk orang-orang yang memiliki gangguan mata, jadi terasa begitu sulit membacanya. Ditambah lagi, saat tidak ada penerangan cukup, tulisannya nyaris tidak terbaca (walau begitu, bacalah di tempat terang, ya!).
Nomor halaman yang manis

Saya juga bingung kenapa tokoh Darren sama sekali tidak dikeluarkan, padahal dari kubu Bintang ada Andrea dan Lia. Oke, dari kubu Sienta sudah ada Billy, tapi andaikan karakter Darren dimunculkan akan membuat konflik cerita semakin tajam dan penyebutan nama cowok satu ini beberapa kali jadi ada maksudnya, bukan sekadar bagian kisah masa lalu Sienta yang ternyata tidak terlalu membuat Sienta sulit untuk move on juga, tuh. Kepergian Sienta ke Barcelona juga terasa dipaksakan... Yah, tapi setidaknya Sienta punya alasan untuk kabur dari Bintang :)

Cinta memang datang tanpa dapat ditebak. Awal dan akhir dapat begitu berbeda. Walau begitu, kalau kita percaya cinta itu benar ada, maka cinta itu akan ada.

Meresapi Pesan dalam Inginku



Judul Novel: Inginku
Penulis: Sienta Sasika Novel
Penerbit: Bukune
ISBN: 6022200776, 9786022200772
Harga Novel: Rp38.000,-
Link info lomba di sini.

Kamu satu-satunya cinta yang kukenal


Inginku bertutur mengenai Lea, Radhit, Vhera, dan cinta di antara mereka. Kehidupan Radhit dan Vhera yang (terlihat) aman dan tenteram mulai mengalami konflik saat Lea muncul masuk di antara mereka. Hubungan yang pernah terjalin antara Lea dan Radhit di masa lalu membawa keduanya terseret pusaran cinta yang tidak dapat mereka tolak. Apa yang pernah dirasakan antara Lea dan Radhit tetap terasa sampai saat ini. Namun, bagaimanapun, Radhit sudah bersama Vhera sekarang…



Bukankah melupakan adalah cara terbaik untuk menghapus luka?

Stasiun Bandungnya yang ini bukan, ya?
Alasan Lea kembali ke Bandung adalah untuk menyembuhkan luka hatinya. Awalnya saya sempat mengira kalau Lea bersedih karena kematian orangtuanya, tapi saya salah. Sienta membuka novel ini dengan lambat melalui penggambaran suasana di Stasiun Bandung yang terlalu biasa. Mungkin gara-gara ini saya melewatkan salah satu info penting bahwa orangtua Lea meninggal pada 2002 (halaman 2). Saya juga sempat berharap akan ada sesuatu yang extraordinary di bab satu, tapi sayangnya tidak ada. Mungkin salah satu yang tidak biasa adalah informasi mengenai nama Jalan Stasiun Timur Nomor Satu yang sebelumnya dikenal dengan Jalan Kebon Kawung nomor 43.

Sejujurnya, saya gregetan dengan lambatnya alur yang digunakan oleh Sienta. Saya selalu bertanya-tanya, “Mana, nih, konfliknya?” Lambatnya alur tidak tertolong oleh konflik yang muncul. Baik Lea, Radhit, atau Vhera, ketiganya tidak mampu berperan menjadi orang jahat. Misalkan Lea, dia begitu tahu diri akan statusnya sekarang dan memilih untuk tidak menjadi orang ketiga di antara Radhit dan Vhera. Radhit, walaupun dia berpacaran dengan Vhera tanpa rasa cinta, pada dasarnya Radhit tidak ingin menyakiti Vhera. Lalu Vhera, sebagai tunangan Radhit, dia mundur dengan mudah dari kancah pertempuran setelah Radhit menegaskan perasaannya. Andaikan salah satu (atau semuanya) lebih bersemangat memeriahkan suasana dengan sifat-sifat yang sedikit meledak, novel ini mungkin memiliki alur yang lebih tajam dan lebih menarik.

Karena kamu, aku bertahan dan tetap menunggu

Radhit diceritakan tetap mempertahankan cinta pertamanya yang tak tergoyahkan walau sepuluh tahun telah berlalu. Sebetulnya hal ini romantis, tapi saya tidak menemukan alasan kuat Radhit tetap mencintai Lea. Mereka bertemu di bangku SMA dan cinta itu tumbuh begitu saja di hati Radhit. Tapi, tetap saja saya menginginkan ada satu poin penting yang membuat Radhit jatuh cinta habis-habisan pada Lea. Pun Lea, setelah mengalami kehidupan yang keras, cintanya pada Radhit bagaikan bersemi kembali. Namun, hal ini akhirnya menyisakan pertanyaan lain untuk saya. Apa alasan kuat Lea harus pergi dari kehidupan Radhit sepuluh tahun yang lalu dan menerima perjodohan yang telah diatur? Padahal, Lea sendiri tidak menyukai perjodohan itu. Orangtua Lea meninggal setahun setelah perpisahan Lea dengan Radhit. Lalu, kapankah terjadinya pernikahan itu? Yang terpenting, KENAPA Lea harus dijodohkan? Kesimpulan yang bisa saya tarik mungkin penulis ingin menekankan penyebab penyakit yang menyerang Lea yang berasal dari gaya hidup Reno?

Sampai buku berakhir, saya tidak dapat jatuh cinta pada sosok Radhit. Walaupun dia cowok yang kelihatan sempurna, bagi saya Radhit hanyalah seseorang yang plin plan. Apa arti lima tahun yang dijalaninya bersama Vhera? Andaikan ia telah mencoba mencintai sang tunangan, tapi gagal, apa ia harus membutuhkan waktu sekian lama dan kemunculan Lea yang mendadak untuk menetapkan hati kalau ia tidak mencintai Vhera? Toh, rasanya ‘mudah’ saja bagi Radhit mengambil keputusan yang selama ini tertunda dan menyuarakan keberatannya atas perjodohannya dengan Vhera walaupun harus melepaskan jabatan yang disandangnya sekarang.

Mencintaimu itu mudah, tapi memilikimu begitu sulit

Karakter yang muncul di buku ini rata-rata berlabel sempurna (untuk saya), bahkan Reno (ya, dia sempurna menyebalkannya). Tanpa masalah yang terlalu berarti, Lea yang lemah lembut, mungil, baik hati, dapat bekerja di rumah sakit ternama sebagai perawat. Tentu saja, track record-nya selama ini tiada cela. Radhit sendiri adalah seorang dokter muda yang tampan, mumpuni, ramah, baik hati, dan sangat berpotensi menjadi menantu idaman sehingga ia terpilih dijodohkan dengan Vhera, putri pemilik RS tempat Radhit bekerja (dan saya masih kurang yakin apa keuntungan keluarga Radhit dengan pertunangan ini). Vhera pun digambarkan sebagai sosok yang cantik menawan (tapi, tidak jelas bekerja apa sampai akhir) dan merupakan sosok menantu wanita ideal pula.

Vhera digambarkan berbeda dengan tokoh antagonis pada umumnya. Vhera memiliki sifat yang terlalu baik. Bahkan setelah ia mencoba berbagai cara untuk membuat Radhit jatuh cinta padanya, tapi pria itu tetap memilih wanita lain, ia tidak melakukan sesuatu yang ekstrim untuk mengganggu hubungan mantan tunangannya itu. Ia memang melarikan diri ke dugem dan minum-minum saat terpuruk, tapi pada akhirnya ia mampu bangkit kembali dengan cepat.

Aku akan melindungimu dengan sayap-sayap yang kumiliki

Untuk saya, halaman persembahan di bagian depan merusak segalanya karena saya langsung dapat menyimpulkan bahwa kanker serviks pasti akan ada hubungannya dengan Lea. Hal ini pun sudah diarahkan secara terang-terangan saat Lea mengikuti seminar mengenai kanker serviks yang dibawakan oleh dokter Radhit. Bahkan pembeberan fakta di balik kehidupan Reno yang kelam sudah menjadi petunjuk jelas akan penyakit yang diidap Lea. Saya merasa unsur kejutannya hilang. Padahal, jika gejala-gejala ini baru dialami Lea setelah sampai di Bandung dengan deskripsi yang lebih lengkap, selain akan memberi informasi lebih lanjut pada pembaca, kita juga dibawa bertanya-tanya, “Apa yang salah?”

Jangan anggap remeh kanker serviks!
Namun, Sienta menunjukkan bahwa ia ‘mengerti’ benar mengenai kanker serviks melalui penjelasannya dalam novel ini, baik yang dipaparkan dalam bungkus seminar yang diadakan Radhit, maupun bagian dari dialog. Sayangnya, beberapa penjelasan terlalu ilmiah, sehingga saya sulit menangkap apa sebetulnya yang ingin disampaikan. Saya sangat berharap ada semacam lampiran yang menjelaskan mengenai kanker serviks dengan lebih lengkap di bagian belakang buku. Hitung-hitung baca novel dapat gratis pengetahuan yang sangat penting…. Jujur, saya jadi 'ketakutan' sendiri saat mencari tahu lebih dalam tentang kanker yang satu ini. Sering kali kemalasan kita untuk check up menjadi bumerang bagi diri sendiri. Melalui Lea, Sienta mampu mengajak pembaca (setidaknya saya) untuk lebih aware terhadap kesehatan diri.

Bagaimanapun, aku ingin menjadi cahaya bagimu

Hal yang agak mengganggu saya sepanjang buku adalah penggunaan imbuhan –nya atau atau ganti ‘ia’ yang tidak jelas mengacu pada siapa. Misalkan saja pada cuplikan paragraf yang saya temukan di halaman 4 ini:
“Lea sayang ….” Perempuan itu menjawabnya penuh rasa kerinduan.“Apa kabar, Bu? Sehat?” Ia melepaskan pelukannya. Diciumnya pipi kanan dan kiri perempuan tersebut.
Siapakah ia? Tentu saja saya tahu, tapi rasanya bagai membaca buku terjemahan di mana he atau she semua diartikan sebagai ‘dia’. Kadang saya harus kembali ke paragraf sebelumnya untuk memastikan bahwa saya tidak salah mengartikan siapa ‘ia’ yang dimaksud.

Saya menyukai tampilan fisik buku secara keseluruhan, baik bagian luar maupun isi. Kovernya cantik, tata letak aksara pun sesuai. Ukuran hurufnya tidak terlalu besar maupun kecil. Saya juga menyukai ornamen yang ada di jeda halaman maupun di awal bab. Cuplikan-cuplikan quote yang disertakan di awal bab juga sangat saya sukai karena memberikan kesan mendalam saat membaca bab yang bersangkutan. Karenanya, saya agak kehilangan saat tidak menemukan quote di beberapa bab. Sayangnya, buku ini sedang tidak ada di saya sehingga saya tidak dapat memasukkan cuplikan cantiknya halaman dalam buku ini ^^

Cinta membuatku belajar bagaimana bertahan hidup

Saya sempat mengintip halaman terakhir untuk melihat apakah akhir cerita Inginku cukup memuaskan. Saya sempat terkecoh dari anggapan awal saya, tapi setelah saya membaca bagian akhir dengan lengkap, saya menyukai pilihan akhir yang dibuat Sienta. Bagaimanapun, jarang sekali terjadi 'keajaiban' pada kanker stadium tinggi dan andaikan Sienta memilih akhir yang penuh keajaiban itu, saya akan membenci buku ini :)

Penulis menunjukkan bahwa cinta sesungguhnya dapat terus bertahan walaupun terpisah jarak. Selalu ada alasan untuk setia dan menanti. Hal ini ditunjukkan oleh Radhit dan Lea. Pun melepas cinta bukan akhir segalanya, karena dengan melakukannya dapat membawa kita selangkah lebih maju. Dan jangan lupa, seberat apa pun hidup kita, semua ada maknanya. Walau kau merasa hidup sendirian di dunia ini, ada seseorang atau lebih yang mendoakanmu...

Rabu, 15 Mei 2013

Merenungkan Sewindu dari Tiga Serangkai



Judul: Sewindu
Penulis: Tasaro GK
Penerbit: Tiga Serangkai
Jumlah halaman: 382 halaman
Harga: Rp82.000,-

Pengakuan, saat saya pertama memesan Sewindu, saya tidak tahu apa pun mengenai buku ini selain judul, penulis, dan penerbitnya. Tidak heran begitu bukunya datang, saya kebingungan sendiri. Apalagi saat membaca kover belakangnya. Tebersit pertanyaan, “Sebetulnya Sewindu ini buku apakah?” Jujur, saya sempat menyangka kalau buku ini adalah novel belaka, bukannya perjalanan hidup Tasaro GK dalam waktu delapan tahun ....

Mencinta dengan Sederhana

Ternyata seorang Tasaro GK pun memulainya dari nol. Ya, saat pertama menikah, keluarga Tasaro bisa dibilang tidak memiliki apa-apa. Barang seadanya, makan sekadarnya, bahkan rumah yang dicicil pun belum bisa dikatakan sebagai sebuah rumah sungguhan karena harus ditambah ini itu. Bahkan halamannya pun masih harus dicangkuli. Di sinilah Tasaro membawa pembacanya menelusuri jejak hidupnya, berbagi suka dan duka perjuangan yang dilaluinya bersama sang istri. Dalam kesederhanaan, tapi penuh dengan cinta yang kaya.

Tasaro menuturkan babak-babak penting dalam hidupnya tidak secara runut. Kalau dalam novel, bisa dibilang alurnya bergerak maju mundur, tapi sesuai. Sebagian besar porsi yang dijabarkan bercerita tentang orang-orang di sekitar Tasaro, baik sang istri, anak-anak, ibu dan ibu mertua, kakak dan adik, ipar, sahabat, juga tetangga dan teman-teman. Tasaro tidak banyak membahas mengenai dunia penulisan, walau ia dengan lihai menyisipkannya dalam berbagai sudut kisahnya di buku Sewindu ini.

Tanpa terasa menggurui, Tasaro mengajarkan saya banyak hal. Misalnya saja bahwa orang yang bekerja di luar rumah (alias menjadi karyawan atau semacamnya) pasti lelah ketika ia pulang ke rumah, namun bukan berarti orang yang ‘tidak ada kerjaan’ di rumah pun tidak lelah. Ia menyadarkan saya (walau saya juga telah mengalaminya sendiri) bahwa ‘terbelenggu’ dalam rutinitas sehari-hari di rumah dapat begitu membosankan, jauh lebih kelabu dibandingkan rutinitas seorang pekerja yang lebih berwarna karena dapat bertemu orang-orang baru atau melewati jalur yang berbeda dalam perjalanan ke atau dari kantor.

Saat Dia Tak Ada
Bagian yang sukses membuat saya menangis tentu saja cerita mengenai Ummi (ibunda Tasaro) dan Mih (ibunda Mimi, alias sang istri). Tasaro lagi-lagi mengingatkan saya bahwa utang harus dibayar, jauh lebih baik sebelum nyawa meninggalkan raga. Lho, apa hubungan utang dengan ibunda? Tentu ada, karena Ummi (dan Insya Allah Mih) menutup mata dengan utang yang telah terlunasi. Selain itu, Ummi dan Mih menunjukkan bahwa kasih sayang seorang ibu memang seluas samudera (ya, ya, ada juga ibu-ibu yang tidak begitu, tapi jumlahnya tidak sebanding dengan ibu-ibu lain yang memang pantas dipanggil ibu). Dan saya pribadi menambahkan satu sosok lagi: Mimi. Kesabarannya menjalani awal rumah tangga yang sederhana ternyata belum sebanding dengan ketegarannya menghadapi dua kali kepergian sang jabang bayi yang bahkan belum sempat menghirup udara di bumi ini ....

Menunggumu, Nak!
Kisah lain yang membuat saya kembali merenung adalah bagian mengenai anak-anak Tasaro. Setelah menanti begitu lama, melewati masa-masa memandangi anak tetangga dan menggosipkan kelucuan mereka, tidak heran kalau kelahiran Sena atau Daeza begitu dinanti. Namun, ada kalanya anak yang ditunggu ini akhirnya mengetes kesabaran dan ketabahan orangtua. Lalu, apakah orangtua berhak mencap mereka sebagai ‘anakku’, padahal mereka adalah titipan Allah? Kalimat ‘Jika saya sabar menunggu kelahirannya begitu lama, mengapa menjadi tidak sabar ketika menunggunya lancar berbicara?’ kembali menarik saya pada kesadaran bahwa sebagai seorang ibu, mau tidak mau, harus punya stok kesabaran yang melimpah. Kenapa? Karena anak-anak itu, anak saya atau anak lainnya, hanyalah amanah dan mereka perlu dibimbing agak kelak menjadi khalifah yang menegakkan kebaikan di muka bumi.

Bab lain yang saya sukai adalah Mengundurkan Diri. Bagian ini pun baru saja saya lalui dalam babak kehidupan saya: mengundurkan diri dari pekerjaan yang menyita waktu saya di luar rumah dan kembali menjadi seorang ibu penuh waktu. Dulu saya sempat mempertanyakan apakah saya ikhlas mengambil keputusan ini? Namun, melalui tulisan Tasaro, saya diingatkan kembali bahwa sedemikian banyak waktu yang saya habiskan di luar sana untuk bekerja dan saya hanya menyisakan sedikit waktu untuk anak-anak di rumah. Jadi, kapan saya benar-benar menjadi seorang ibu? Bukan berarti dengan berada di rumah saja langsung membuat saya menjadi ibu sesungguhnya. Saya masih perlu banyak belajar, dari sekitar saya, terutama anak-anak .... Dan itu tidak mudah.

Sewindu Cinta Itu (Akhirnya) tentang Waktu
Saya belum pernah membaca karya Tasaro GK yang lain, sehingga saya tidak dapat membandingkan buku ini dengan buku lainnya. Namun, saya menyukai gaya penuturan Tasaro. To the point dan saya langsung mengerti apa yang akan disampaikan.

Mungkin salah satu kekurangan utama buku ini adalah ... harga. Yah, saya terkaget-kaget saat menerima bon pembelian. Wuidih, bukunya lumayan mahal juga. Bukan berarti saya anti membeli buku ‘mahal’, tapi ujungnya akan membuat saya berharap tidak rugi telah mengeluarkan kocek yang lumayan hanya demi sebuah buku. Protes saya terjawab setelah menemukan ilustrasi-ilustrasi sederhana berwarna yang mempercantik buku ini secara keseluruhan. Sangat disayangkan karena faktor harga inilah yang membuat buku ini tidak bisa dibaca banyak orang. Padahal, saya yakin, dengan harga yang lebih murah, buku ini akan banyak ditemukan di rak-rak para pecinta buku karena isinya yang memang berbobot. Hal lain yang membuat saya keberatan dalam arti sesungguhnya adalah jenis kertas yang digunakan. Dengan HVS putih, buku Sewindu ini memang terasa berat saat saya ajak berkeliling dalam tas saya.

Selain itu, dengan kover yang begitu teduh, sederhana, tapi menarik, saya kembali berkeluh kesah dengan jenis kertas yang digunakan. Gara-garanya sederhana: karena butuh lama untuk menyelesaikan buku ini (dan akhirnya lebih sering saya ajak berkelana), tepi kertas kovernya mulai terbelah. Tampilan buku Sewindu saya seakan telah dibaca berkali-kali selama sewindu. Tulisan judulnya pun terlalu kecil, sehingga tidak akan terbaca bila dilihat dari kejauhan. Yang ‘menolong’ membuat buku ini mencuat di antara deretan buku lain mungkin warna hijaunya yang dominan. Bahkan jenis font yang menuliskan Tasaro GK terasa mbulet-mbulet dan tidak bisa langsung terbaca (untuk saya). Dengan samping buku yang begitu lebar, ukuran nama penulis, judul, beserta nama penerbit pun begitu imut (dan menggemaskan dengan warna hijau muda yang lagi-lagi tidak terbaca dari jauh), sehingga terasa kurang memaksimalkan tampilan kover agar tidak kalah bersaing di toko buku. Walau saya yakin pembaca yang haus bacaan bagus akan lebih memilih buku karena isinya, bukan kovernya.

Pada akhirnya, Sewindu bukan sekadar perjalanan hidup Tasaro GK. Bukan pula sebuah ajang pembuktian pencapaian Tasaro GK. Buku ini berisi kumpulan hikmah hidup, yang dapat diterapkan dalam hidup kita, menjadi bahan renungan yang tak akan lekang oleh waktu.

Arus indah itu bernama cinta, dan cinta itu tentang waktu.

PS. Saya kembali menangis membaca bagian tentang Bapak. Mengingatkan saya akan kenangan-kenangan yang saya habiskan bersama almarhum Papa.

Tentang Penulis:
Tasaro GK adalah seorang juru dongeng. Anak dari Ummi Dariyah; seorang ibu yang menulis hingga hari-hari terakhir kesadarannya. Pula, bungsu seorang bapak yang setia dengan mesin ketik klasiknya: Muryadi Radiyowirono.

Tulisan ini diikutkan dalam Lomba Resensi Sewindu karya Tasaro GK.

Senin, 13 Mei 2013

Ketulusan dalam Cinta Kamu, Aku



Judul: Cinta Kamu, Aku
Penulis: Irfan Ihsan
Penerbit: Nourabooks
Jumlah halaman: 310 halaman
Terbit: Februari 2013 

Sinopsis:

Aan tidak menyangka, pertemuannya dengan Risha akan membawanya pada suatu kerumitan kegalauan tak berujung. Aan hanyalah seorang penyiar radio dengan air time pas-pasan, tunggakan uang kos, dan penyakit jomblo akut. Sementara, Risha, penyanyi papan atas yang tinggal di dunia yang jauh berbeda dari Aan, terkenal dengan suara merdu, kecantikan, dan segudang prestasinya. Namun, satu event pengubah takdir telah membuat cinta Aan dan Risha bertemu di satu frekuensi.


Apa, sih, ceritanya?

Aan alias Febrian Suhendra tidak pernah menyangka kalau pertemuan dadakannya dengan Risha sang penyanyi yang sedang naik daun ternyata berlanjut dengan dramatis. Aan jadi selebriti dadakan sejak mendapat cap sebagai ‘pacar Risha’ walau sebenarnya semua ini murni kesalahpahaman. Usaha Risha untuk menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya pada Aan selalu gagal, membuat keduanya terlibat semakin dalam. Saat segalanya mulai serius, haruskah Aan menerima kenyataan di balik semuanya dan melepaskan Risha?

Memulai Hal Biasa di Hari yang Biasa

Saya belum pernah membaca cerita mengenai seorang penyiar radio sebelumnya. Dibuka dengan adegan Aan yang harus ‘kabur’ dari kejaran ibu kos yang ingin menagih utang, kita langsung dibawa ke kehidupan radio yang kini mulai ditinggalkan pendengarnya. Aan yang mengalami krisis keuangan terpaksa hengkang dari kamar kos sepagi mungkin dan menghabiskan waktunya di Radio Flash tempatnya menjadi penyiar. Saya dapat membayangkan bagaimana suasana ruang kerja (?) di Radio Flash beserta para krunya melalui penuturan Irvan. Juga saat siaran. Saya bagaikan mendengarkan cuap-cuap Aan di Flash FM secara langsung. Irvan berhasil mengangkat adegan ini sehingga terasa nyata dan saya yakin hal ini ada pengaruhnya dari pengalaman Irfan terlibat dalam dunia penyiaran secara bertahun-tahun.

Sebetulnya, kisah cinta ‘dua dunia yang sama, tapi berbeda’ sudah banyak di pasaran. Awalnya Aan bukan siapa-siapa, hanya seorang penyiar yang bahkan permintaannya untuk menambah jam siaran langsung ditolak walaupun rating acara yang dibawakannya cukup baik. Novel ini menunjukkan bahwa untuk naik ke atas kadang butuh ‘domplengan’ nama tenar orang lain. Bukan berarti Aan adalah seorang ambisius yang memanfaatkan Risha untuk menaikkan posisinya, cintanya untuk Risha tulus dari hati. Namun, hal ini juga yang membuat saya bingung. Saya tidak menemukan ‘titik’ di mana Aan benar-benar jatuh cinta pada Risha, apa yang membuatnya rela menghabiskan hidupnya untuk Risha seorang. Andaikan diselipkan adegan berkesan yang mampu membuat saya menerima kenyataan bahwa cinta Aan hanya untuk Risha, mungkin saya akan lebih lega.

Berani Merasakan, Berani Menyatakan!

Menurut saya, karakter-karakter yang muncul di Cinta Kamu, Aku ini kurang kuat. Oke, mungkin selain Lego dan Aki. Saya tidak dapat menentukan apakah sebetulnya Aan ini cowok yang menyebalkan atau menyenangkan. Ia sesekali ceria, lain kali galau, tapi saya tidak dapat benar-benar menebak apa sifat Aan. Pun Risha. Ia memang gadis yang baik, artis yang baik, penyanyi yang baik juga, selain skandal cintanya dengan Yudha yang saat itu sudah menjalin hubungan dengan Ratih. Bahkan Yudha yang diceritakan memiliki sifat playboy pun tidak menguarkan aura brengsek yang patut saya caci maki. Memang ada adegan ia menelepon wanita lain untuk berkencan setelah ia membatalkan janji dengan Ratih, tapi untuk saya itu kurang masih jauh dari ‘kurang ajar’. Karakter yang paling saya suka mungkin malah Aki, yang hobi memlesetkan nama Risha menjadi apa saja, kecuali ... Risha. Aki juga selalu menasihati Aan agar tidak jinah supaya tidak asup neraka, dengan kata lain, “Buruan atuh nikahin Neng Reza, eh, Risha.” Jangan lupakan Lego yang mampu mempertahankan eksistensinya sampai akhir cerita.

Irfan menyelipkan cerita-cerita masa lalu sehingga saya tercerahkan mengenai masa lalu para karakter utama di novel ini. Sayangnya, cerita masa lalu ini bagai kelebatan ingatan saja, kurang mendetail, padahal saya ingin merasakan lebih banyak emosi Aan dan Risha yang memiliki masa lalu yang tidak seindah bayangan saya. Mereka sekarang tertawa, tapi seharusnya mereka pernah berderai air mata di masa lalu. Saya ingin sekali merasakan kesedihan yang mencubiti hati saya saat tahu kenyataan di balik cerita kisah ortu Aan yang romantis atau kesendirian Risha dengan ortu yang suka melancarkan perang saudara.

Tidak Ada yang Mudah

Buku bergenre seperti Cinta Aku, Kamu dengan karakter utama cowok dan ditulis oleh cowok juga tidak terlalu banyak di dalam jajaran koleksi buku saya. Dari segelintir buku itu, saya dapat merasakan perbedaan gaya penulisan penulis pria dan wanita (harap dicatat kalau ini pendapat saya pribadi). Irfan menuturkan segala adegan secara ringkas, bahkan penggambaran karakternya pun tidak bertele-tele. Di satu sisi ini baik sekali karena pembaca tidak perlu dicekoki hal-hal yang tidak penting, namun di pihak lain ada beberapa bagian yang terasa ‘lewat’ begitu saja. Saya benar-benar berharap Irfan ke depannya mampu menambahkan bumbu-bumbu yang lebih banyak ke dalam masakan naskahnya biar lebih gurih dan meninggalkan kesan. Konfliknya juga perlu dipertajam, misalnya Aan benar-benar sempat terpuruk dan kehilangan arah setelah perpisahannya dengan Risha sampai sakit parah ....

Saya sedikit terganggu dengan keterangan tempat dan waktu yang kerap muncul di tiap bab. Novel ini jadi bernuansa seperti skrip film yang memang harus jelas seting lokasi kejadiannya, padahal dari deskripsi satu atau dua kalimat dalam paragraf pun cukup. Saya juga tidak terlalu melihat hubungan signifikan antara keterangan waktu dengan keseluruhan cerita. Malah hal ini menjadi jebakan saat seting cerita masih tahun 2011, namun sudah ada ‘terawangan’ kematian Whitney Houston yang baru terjadi di tahun 2012. Oh, ya, saya juga agak terganggu dengan komentar kemarahan Aan yang sampai mengucapkan nama salah satu binatang saat ia menangkap basah Risha sedang berduaan dengan pria lain. Kalau ingat Aan termasuk ‘alim’. seharusnya istilah ini tidak keluar dari mulutnya.

Irfan banyak menggunakan kalimat-kalimat panjang yang kurang efektif. Untuk saya, ini bukan kesalahan Irfan murni karena editor seharusnya bisa mengingatkan atau cukup 'memenggal' kalimat panjang itu menjadi dua atau tiga kalimat tanpa mengurangi makna keseluruhan. Yang perlu diperhatikan juga adalah penggunaan bahasa Sunda yang seharusnya memperkuat isi cerita, tapi pada akhirnya malah membuat kenyamanan saya membaca berkurang. Kenapa? Karena kalimat ini juga tidak efektif. Misalnya, "Eta teh jinah ... jinah teh haram--Itu zina! Zina itu haram!" Untuk kalimat pendek dan jelas seperti ini rasanya tidak perlu diberi 'terjemahannya'. Kalau perlu malah tidak usah berbahasa Sunda, tapi tetap memasukkan unsur-unsur kata Sunda yang umum, seperti teh, eta, mah sehingga tetap terasa ke-Sunda-annya (kayaknya aneh, ya, istilahnya?).

Ini Bukan Drama Radio!

Buku yang kelihatan tebal ini ternyata tidaklah ‘setebal’ yang saya kira. Ukuran fontnya pas, ditambah dengan jarak antar kalimat yang tidak terlalu rapat sehingga mata tidak lelah. Hal lain yang menarik adalah adanya ilustrasi di awal bab yang walau lagi-lagi membuat saya menebak-nebak karena ada 1 orang cewek dan 2 orang cowok. Apakah karakter kedua cowok itu sama-sama Aan? (Tapi, menurut hemat saya, cowok bertopi yang duduk di atas radio itu adalah dr. Tompi). Saya juga sempat berharap bahwa ilustrasi awal bab ini semuanya berbeda, bukan cuma tiga gambar yang dipajang bergantian (maafkan keegoisan saya ini, ehehe).

Salut pada Nourabooks (logonya ganti, ya? Baru ngeh) yang berbasil mempertahankan kesalahan ketik seminimal mungkin. Namun, saya sedikit kecewa dengan jenis kertas kover yang digunakan karena gampang ‘patah’ saat buku dibuka. Untungnya jenis kertasnya termasuk yang lemas, jadi bisa saya minimalisasi walau tetap saja ada ‘patahan’ di bagian sudut. Selain itu, laminatingnya mudah terkelupas sehingga rencana darurat saya ke depan adalah menyampul buku ini sebelum saya menyesal lebih lanjut. Oh, ya, pemilihan warnanya juga terlalu kusam. Kebetulan buku ini saya beli via online, tapi ketika saya ke toko buku dipastikan saya akan melewatkan buku ini karena warnanya sama sekali tidak menggoda mata saya. Selain itu, logo Noura yang berwarna putih benar-benar tenggelam lautan di warna kuning kecokelatan yang mendominasi kover secara keseluruhan.

Ada satu hal yang mungkin tidak bisa dilakukan oleh penulis lain: memasukkan cameo seorang artis/orang terkenal/orang yang benar-benar ada di dunia nyata ini ke dalam tulisan dan diketahui oleh yang bersangkutan. Dengan soundtrack ‘Menghujam Hatiku’ yang dibawakan dr. Tompi, sang penyanyi ini muncul sebagai dirinya sendiri di dalam novel . Jadi, andaikan novel ini benar-benar diangkat menjadi film, saya sudah bisa membayangkan adegannya *sok tahu*

Nyatakan ....

“ ... kalau ditanya apa saya masih sayang dia, saya akan jawab ‘nggak’ .... Dan kalo sekarang saya ditanya kapan terakhir kali saya melakukan kebohongan terbesar dalam hidup, saya akan jawab  ... baru saja ....”

Kalau ditanya apa novel ini bagus banget, saya akan jawab ‘nggak’. Tapi kalau ditanya apa saya berbohong, saya jawab ... ya, karena novel ini layak untuk dibaca, kok. Dan dapat 3 bintang dari saya ^^

Tentang penulis:
Irfan Ihsan adalah penyiar The Afternoon Show Radio Prambors yang menjadi program pertama di Indonesia yang mengudara secara langsung dan bersamaan di radio dan TV bernama Prambors Wow Mania. Sejak 2005, Irfan bergabung dengan VOA sebagai Internation Broadcaster dan menetap di Washington DC. Novel Cinta Aku, Kamu  adalah novel pertamanya.

PS. Sumpah, judulnya ribet banget soalnya saya terus-terusan kebalik antara posisi aku dan kamu. Hadeuuuh.

Kamis, 09 Mei 2013

Cerita Tentang Kita oleh Selvia Sari Rahmawati


Cerita Tentang Kita
--Ketika Rasa Tak Lagi Senada--

Penulis: Selvia Sari Rahmawati
ISBN: 978-602-225-633-5
Terbit: April 2013
Halaman: 144
Harga: Rp. 34.100,00
Penerbit: LeutikaPrio



Sinopsis:
Ini tentang aku dan kamu. Ini tentang kita. Goresan ini tetap akan terukir. Apabila dirimu masih mengukir hidupku menjadi lebih istimewa.

Melepaskanmu adalah caraku untuk membuatmu bisa bahagia. Aku terlanjur menyayangimu. Namun, mengapa waktu tak pernah cocok untuk kita?

Salsa, cewek yang menganggap dirinya biasa saja bertemu dengan Okta, cowok konyol dan mengaku dirinya ganteng hanya karena sebuah topi. Pertemuan ini benar-benar tidak disangka oleh kedua belah pihak. Berkat Okta, Salsa bisa menggapai cita dan cinta menjadi lebih erat. Temukan perjalanan cinta mereka yang abstrak hanya di sini!

Tulisan ini dikutkan dalam #CTKGiveaway

Kalau ditanya kenapa aku ingin dan berhak mendapat buku ini? Alasannya jelas karena ini adalah karya Selvia Sari, seorang teman yang kukenal via twitter. Buku ini adalah karya pertamanya yang ditulis dalam usia yang masih belia. Aku berharap dapat mencicipi salah satu 'batu pertama' yang diletakkannya secara resmi di dunia penulisan. Semoga ke depannya aku dapat terus mengikuti dan membaca karya-karya Silvia selanjutnya. Aku ingin tahu apa dituturkan Selvia dalam buku berkover manis warna biru ini... Aku ingat pernah membaca kicauan Selvia bahwa ia sedang menulis novel dan akan menerbitkannya, siapa sangka sekrang novel itu benar-benar sudah terbit??

Maju terus, Selvia!