Photobucket

Jumat, 08 Maret 2013

Haru dan Aku: Tak Kenal Maka Tak Sayang


Saya tidak banyak  membaca buku terbitan Haru. Entah kenapa, saya memang agak sedikit ‘curiga’ dengan novel-novel berbau Korea pada umumnya. Yang lokal terasa ikut-ikutan, yang terjemahan saya hampir yakin kalau bakalan kecewa membacanya. Semua ini mungkin dikarenakan kekecewaan saya saat membaca manhwa. Seringkali saya tidak mengerti apa yang ingin disampaikan ...

Buku Haru pertama yang saya baca adalah So I Married the Antifan dan ini adalah hasil pinjaman. Dan belum apa-apa, saya langsung kecewa saat membuka lembaran pertama. Bisa dibayangkan saya kecewa dengan lembar KDT (katalog dalam penerbitan) yang memuat detail editor, penata letak, dll itu? Biasanya lembar KDT ditulis dengan menggunakan ukuran font yang lebih kecil, namun entah kenapa KDT yang satu ini ‘sama’ dengan halaman isi novel sehingga terlihat ambigu. Selain itu, gambar-gambar yang ada di buku ini terlihat pecah, low resolution. Sangat disayangkan mengingat ilustrasi yang muncul ini sebetulnya menarik. Tata letaknya juga terkesan dipaksakan memanfaatkan seluruh ruang yang tersedia sehingga jarak antara body text dengan nomor halaman begitu dekat. Lalu, yang paling saya takutkan benar-benar terjadi: saya bosan membaca novel ini. Entah kesalahan ada di pihak penerjemah atau memang naskahnya seperti itu, saya kesulitan mengerti di banyak bagian. Ide cerita bagus, tapi eksekusi berantakan. Hal yang sama juga diungkap oleh Mama sang K-Pop sejati di rumah. Jadi, kesalahan ada di siapa?
 
Buku kedua Haru yang selanjutnya saya baca adalah Seoulmate. Kali ini adalah karya anak bangsa, tapi tetap berbau-bau Korea, karya Lia Indra Andriana. Buat saya, gaya penulisan Lia jauh lebih bagus daripada si-penulis-Korea-asli. Sayangnya, lagi-lagi saya merasa terganggu dengan tata letaknya di mana permulaan paragrafnya terlalu menjorok ke kanan. Mungkin hanya saya yang mempermasalahkan hal ini, ya *ketawa* Dan karena satu dan lain hal, saya tidak menyelesaikan membaca Seoulmate walau saya juga mengoleksi Seoulmate is You. Kedua buku ini masih saya simpan untuk dibaca, entah kapan.

Buku ketiga Haru yang berhasil saya selesaikan *bangga* adalah Oppa and I. Seorang teman mengkritik novel ini habis-habisan, sehingga akhirnya ia memberikan novel itu pada saya. Penasaran yang tinggi dan ditunjang dengan alur yang memang memikat, saya tidak dapat berhenti membacanya. Memang masih banyak pertanyaan yang belum terjawab di buku ini, tapi ternyata para penulisnya sudah mempersiapkan sekuelnya (yang belum saya baca). Hal yang menganggu saya dari novel ini adalah ilustrasi di bagian dalam yang terkesan dikerjakan asal-asalan. Memang sketchy, tapi buat saya itu adalah gambar yang belum jadi ... Jadi, rasanya ilustrasi ini malah 'merusak' novel secara keseluruhan. Dan lagi-lagi, mungkin hanya saya yang mempermasalahkan hal ini.
Oke, dari sekian banyak novel Haru, yang sudah saya intip dan baca (walau mungkin tidak semuanya) baru tiga, jadi rasanya kurang pantas mengkritik ini itu. Namun, demi Mama, saya akhirnya membeli dua novel Haru lainnya, My Name is Kim Sam Soon dan 4 Ways to Get a Wife. Menurut Mama, kedua karya ini jauh lebih mudah dimengerti daripada So, I Married the Antifan.

Saat menulis post ini, saya mencoba menelaah apa sebetulnya yang membuat saya jarang membeli buku-buku Haru walaupun banyak sekali yang memuji-mujinya. Mungkin apa yang saya rasakan ini hanya uneg-uneg terpendam saya, tapi saya berharap dapat menjadi masukan bagi Haru sendiri.

Satu, sebaiknya Haru memiliki template novel yang baku. Jadi, ada keseragaman penggunaan jenis font dan format. Untuk tata letak tentu dapat divariasikan, terutama bila naskah aslinya memiliki gambar atau apa. Namun, secara garis besar ukuran font, jenis font, atau mungkin leading paragraph bisa diseragamkan. Oh, ya, ukuran font jangan terlalu kecil dan rapat, bacanya susah!

Dua, memperhatikan kualitas ilustrasi, baik dari mutu gambar juga resolusinya. Jangan sampai ilustrasi yang tidak maksimal ini menjadi catatan merah (setidaknya untuk saya). Saya yakin Haru mampu mencari ilustrator yang mumpuni.

Tiga, masalah diskon. Bukan berarti Haru harus mengobral buku-bukunya, ya. Tapi, saya perhatikan bahwa buku-buku baru Haru itu jarang sekali didiskon walaupun saya membelinya melalui toko online yang biasanya memberikan diskon. Beberapa penerbit besar dapat memberikan diskon minimal 15%, bahkan ada yang sampai 35%, untuk produk-produk baru mereka. Sedangkan Haru, paling banter hanya 10%. Itu pun sulit sekali mencarinya. Biasanya saya menunggu even pameran buku karena saya bisa mendapat diskon yang lebih besar, tapi lagi-lagi distributor Haru hanya memberikan diskon maksimal 10% sementara penerbit lain bisa sampai 30%. Memang Haru pernah memberikan diskon 30% saat ultah, tapi buku yang saya incar ternyata 'hanya' diskon 20% sehingga lagi-lagi saya mundur.

Empat, ukuran buku. Mungkin lagi-lagi hanya saya yang mempermasalahkan ini. Saran saya Haru menyeragamkan ukuran buku sehingga saat saya satukan di lemari tidak seperti gelombang naik turun.

Lima, lebih perluas segmen pembaca Haru dengan tidak melulu menerbitkan novel yang berbau Korea atau Jepang. Kalau memang Haru sudah memiliki naskah yang tidak bernuansa keduanya, perbanyaklah. Namun, kalau Haru memang mengkhususkan menerbitkan novel berbau Korea atau Jepang, maka terbitkanlah yang terbaik. Jangan sampai naskah lokal bernuansa negeri timur itu hanya terkesan tempelan.

Semoga tulisan saya ini dapat membuat Haru menjadi lebih baik. Tak kenal maka tak sayang dan saya ingin sekali lebih mengenal Haru <3

Tulisan ini diikutkan dalam even Aku (ter)Haru: Antara Aku dan Haru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar