Photobucket

Selasa, 07 Mei 2013

Saat Pus Meminta 'Jangan Panggil Aku Kitty'


Judul : JANGAN PANGGIL AKU KITTY
Penulis : SAMSAIMO PARAMINA
ISBN : 978-602-7724-34-1
Terbit : Maret 2013
Penerbit : FLASH BOOKS – DIVA PRESS
Tebal : 188 halaman (14 x 20 cm)
Sampul : Hard Cover
Harga : Rp. 32.000,-
Sinopsis: “Sekarang aku bukan milik siapa-siapa. Kuhirup udara kebebasan begitu segar aromanya. Kapan aku harus pergi, berdiam diri, makan, bercengkerama, bercanda atau bertualang terserah hatiku.” 
Kitty memutuskan pergi dari rumah Mbak Dinik setelah melihat seekor kucing ras menggantikannya. Tekadnya untuk hidup liar dan bertualang sudah bulat. Ia pun mengganti namanya dengan Hitam, seperti warna bulunya yang legam. Menurutnya nama Kitty hanya pantas untuk kucing nan imut saja. 
Kehidupan liar yang keras membuat Hitam harus bersitegang dengan kucing lain untuk berebut makanan dan daerah kekuasaan. Hingga akhirnya ia berteman dengan empat ekor kucing penghuni Pasar Nongko. Sayangnya pasar itu akan direnovasi sehingga para tikus mulai pergi. Hitam dan teman-temannya pun kesulitan berburu tikus.
Bagaimana petualangan Hitam selengkapnya? Mampukah ia bertahan dalam kerasnya kehidupan di jalanan?
Simak novel unik bersudut pandang kucing ini! Diwarnai dengan kisah cinta dan persahabatan membuat petualangan si Hitam semakin seru, kocak, dan menarik.

Sebagai seorang penyuka kucing, novel ini cukup menarik perhatian saya. Terutama karena kovernya menggunakan gambar kucing, bukannya foto seperti yang umumnya saya temukan. Ekspresi si pus begitu sedih sehingga saya penasaran apa yang akan disampaikan oleh penulis melalui bukunya ini.

Secara garis besar, novel Jangan Panggil Aku Kitty bercerita mengenai Kitty yang mengganti namanya menjadi Hitam ketika ia memutuskan menjadi kucing liar dan bukannya pus peliharaan Mbak Dinik lagi. Perjalanan Hitam sebagai kucing liar membuatnya bertemu dengan berbagai hewan lain, manusia, juga peristiwa-peristiwa yang tidak akan ditemuinya jika ia tetap tinggal di kediaman Mbak Dinik.

Novel ini menggunakan sudut pandang aku sebagai si Hitam. Ide ceritanya cukup menarik karena jarang sekali novel yang menggunakan tokoh utama sebagai seekor binatang. Sayangnya, saya tidak dapat menangkap apa yang sebenarnya akan disampaikan oleh si Hitam baik sebagai inti cerita maupun pesan moral yang akan disampaikan. Mungkin Hitam ingin menyampaikan kalau klenik itu tidak baik. Tapi, Hitam sendiri tidak memberikan solusi apa pun mengenai hal klenik ini. Atau mungkin Hitam ingin menunjukkan bahwa persahabatan itu lebih penting daripada cinta kepada pasangan atau majikan?

Sebagai seekor kucing rumahan yang terbiasa hidup enak, jalan liar yang dihadapi Hitam tidaklah sesulit yang seharusnya ia alami. Walau beberapa kali mendapatkan masalah kecil, dengan cepat juga Hitam mendapatkan solusinya. Bahkan ia dengan mudah mengingat jalan ke Taman Balekambang atau ke Pasar Nongko. Hitam pun dengan mudah mengalau kucing garong walau sedikit terluka, sampai-sampai ia diangkat menjadi 'ketua geng'. Hitam pun digambarkan terlalu baik. Ia bukan tipe kucing nakal yang iseng mencuri ikan para pedagang atau kecentilan menggoda betina lain. Karakter Hitam menjadi begitu membosankan dan tidak menarik. Andaikan Hitam lebih sedikit kucingwi (kok, nggak seenak kedengarannya seperti manusiawi?) mungkin akan membuat cerita keseluruhan lebih hidup.

Saya juga melihat ketidakonsistenan pada pengetahuan Hitam. Di satu pihak, Hitam mengaku kalau ia pus rumahan yang belum mengenal dunia liar. Tapi, di sisi lain, ia seakan sudah mengerti seluk beluk kehidupan seekor kucing liar. Ia juga mengaku tidak dapat membaca tulisan manusia, namun bagaimana ia bisa tahu bahwa logo yang tertera di poster adalah lambang paguyuban pasar? Saran-saran yang diberikan Hitam pada teman-temannya juga seharusnya adalah saran berdasarkan pengalaman seorang kucing yang sudah merasakan asam garam kehidupan kucing liar. Yang lebih aneh lagi, bagaimana seekor kucing seperti Hitam mengerti soal teror bom atau istilah cat woman?

Jika melihat kover dan judulnya, saya sempat berpikiran kalau target pembaca novel ini adalah remaja. Namun, saya salah karena novel satu ini juga memuat konten yang buat saya cukup dewasa dan tidak cocok dibaca oleh manusia-manusia yang belum cukup umur.

Kovernya sendiri cukup menarik seperti yang sudah saya singgung sebelumnya. Namun, setelah membaca buku ini, saya bingung kenapa Hitam digambarkan begitu sedih? Padahal, saya tidak merasakan kalau Hitam merasakan kesedihan yang sangat atau mungkin sebuah kehilangan. Hal ini membuat tampilan kover secara keseluruhan menjadi suram, padahal (lagi-lagi) warna-warna yang digunakan sudah cukup cerah. Mutu gambar motif polkadot di bagian bawah kover juga terlihat pecah alias low res sehingga untuk saya merusak keseluruhan kover (lagi). Hal lain yang cukup mengganggu saya salah cuplikan paragraf yang tersebar acak di seluruh buku. Bagian itu benar-benar membuat keasyikan saya membaca ternodai karena saya tidak melihat pentingnya ada cuplikan itu. Dan, menurut saya, akan lebih cantik kalau nomor halaman diberi motif cakar kucing, bukannya bentuk lingkaran yang tidak beraturan dan tidak jelas maksudnya.

Walau begitu, saya salut pada Samsaimo Paramina yang berani mengangkat sesuatu yang berbeda ke dalam bentuk novel. Salut juga pada Divapress yang berhasil mengemas novel ini menjadi sebuah bacaan menarik dengan kesalahan ketik yang sangat, sangat minimalis.

Untuk sebuah kisah perjalanan kucing, yang dituturkan oleh seorang manusia dalam wujud kucing (ya, saya lebih merasa kalau Hitam adalah seorang manusia, bukannya seekor kucing), saya hanya dapat memberikan tiga bintang dari lima untuk novel Jangan Panggil Aku Kitty. Andaikan alur dan penokohannya dibuat lebih kuat, saya yakin novel ini layak masuk ke jajaran rekomendasi.

Tulisan ini diikutsertakan dalam kuis berhadiah novel karya Samsaimo Paramina di fans page Arga Litha.
Jangan lupa ikuti kuisnya di sini.

3 komentar:

  1. ayeee :)
    Hitam tidak konsisten ya? :D

    Okee tercatat sebagai peserta, trims ^^

    BalasHapus
  2. resensinya bagus dan mudah dimengerti, jadi pingin belajar ngeresensi juga

    BalasHapus