Photobucket

Rabu, 15 Mei 2013

Merenungkan Sewindu dari Tiga Serangkai



Judul: Sewindu
Penulis: Tasaro GK
Penerbit: Tiga Serangkai
Jumlah halaman: 382 halaman
Harga: Rp82.000,-

Pengakuan, saat saya pertama memesan Sewindu, saya tidak tahu apa pun mengenai buku ini selain judul, penulis, dan penerbitnya. Tidak heran begitu bukunya datang, saya kebingungan sendiri. Apalagi saat membaca kover belakangnya. Tebersit pertanyaan, “Sebetulnya Sewindu ini buku apakah?” Jujur, saya sempat menyangka kalau buku ini adalah novel belaka, bukannya perjalanan hidup Tasaro GK dalam waktu delapan tahun ....

Mencinta dengan Sederhana

Ternyata seorang Tasaro GK pun memulainya dari nol. Ya, saat pertama menikah, keluarga Tasaro bisa dibilang tidak memiliki apa-apa. Barang seadanya, makan sekadarnya, bahkan rumah yang dicicil pun belum bisa dikatakan sebagai sebuah rumah sungguhan karena harus ditambah ini itu. Bahkan halamannya pun masih harus dicangkuli. Di sinilah Tasaro membawa pembacanya menelusuri jejak hidupnya, berbagi suka dan duka perjuangan yang dilaluinya bersama sang istri. Dalam kesederhanaan, tapi penuh dengan cinta yang kaya.

Tasaro menuturkan babak-babak penting dalam hidupnya tidak secara runut. Kalau dalam novel, bisa dibilang alurnya bergerak maju mundur, tapi sesuai. Sebagian besar porsi yang dijabarkan bercerita tentang orang-orang di sekitar Tasaro, baik sang istri, anak-anak, ibu dan ibu mertua, kakak dan adik, ipar, sahabat, juga tetangga dan teman-teman. Tasaro tidak banyak membahas mengenai dunia penulisan, walau ia dengan lihai menyisipkannya dalam berbagai sudut kisahnya di buku Sewindu ini.

Tanpa terasa menggurui, Tasaro mengajarkan saya banyak hal. Misalnya saja bahwa orang yang bekerja di luar rumah (alias menjadi karyawan atau semacamnya) pasti lelah ketika ia pulang ke rumah, namun bukan berarti orang yang ‘tidak ada kerjaan’ di rumah pun tidak lelah. Ia menyadarkan saya (walau saya juga telah mengalaminya sendiri) bahwa ‘terbelenggu’ dalam rutinitas sehari-hari di rumah dapat begitu membosankan, jauh lebih kelabu dibandingkan rutinitas seorang pekerja yang lebih berwarna karena dapat bertemu orang-orang baru atau melewati jalur yang berbeda dalam perjalanan ke atau dari kantor.

Saat Dia Tak Ada
Bagian yang sukses membuat saya menangis tentu saja cerita mengenai Ummi (ibunda Tasaro) dan Mih (ibunda Mimi, alias sang istri). Tasaro lagi-lagi mengingatkan saya bahwa utang harus dibayar, jauh lebih baik sebelum nyawa meninggalkan raga. Lho, apa hubungan utang dengan ibunda? Tentu ada, karena Ummi (dan Insya Allah Mih) menutup mata dengan utang yang telah terlunasi. Selain itu, Ummi dan Mih menunjukkan bahwa kasih sayang seorang ibu memang seluas samudera (ya, ya, ada juga ibu-ibu yang tidak begitu, tapi jumlahnya tidak sebanding dengan ibu-ibu lain yang memang pantas dipanggil ibu). Dan saya pribadi menambahkan satu sosok lagi: Mimi. Kesabarannya menjalani awal rumah tangga yang sederhana ternyata belum sebanding dengan ketegarannya menghadapi dua kali kepergian sang jabang bayi yang bahkan belum sempat menghirup udara di bumi ini ....

Menunggumu, Nak!
Kisah lain yang membuat saya kembali merenung adalah bagian mengenai anak-anak Tasaro. Setelah menanti begitu lama, melewati masa-masa memandangi anak tetangga dan menggosipkan kelucuan mereka, tidak heran kalau kelahiran Sena atau Daeza begitu dinanti. Namun, ada kalanya anak yang ditunggu ini akhirnya mengetes kesabaran dan ketabahan orangtua. Lalu, apakah orangtua berhak mencap mereka sebagai ‘anakku’, padahal mereka adalah titipan Allah? Kalimat ‘Jika saya sabar menunggu kelahirannya begitu lama, mengapa menjadi tidak sabar ketika menunggunya lancar berbicara?’ kembali menarik saya pada kesadaran bahwa sebagai seorang ibu, mau tidak mau, harus punya stok kesabaran yang melimpah. Kenapa? Karena anak-anak itu, anak saya atau anak lainnya, hanyalah amanah dan mereka perlu dibimbing agak kelak menjadi khalifah yang menegakkan kebaikan di muka bumi.

Bab lain yang saya sukai adalah Mengundurkan Diri. Bagian ini pun baru saja saya lalui dalam babak kehidupan saya: mengundurkan diri dari pekerjaan yang menyita waktu saya di luar rumah dan kembali menjadi seorang ibu penuh waktu. Dulu saya sempat mempertanyakan apakah saya ikhlas mengambil keputusan ini? Namun, melalui tulisan Tasaro, saya diingatkan kembali bahwa sedemikian banyak waktu yang saya habiskan di luar sana untuk bekerja dan saya hanya menyisakan sedikit waktu untuk anak-anak di rumah. Jadi, kapan saya benar-benar menjadi seorang ibu? Bukan berarti dengan berada di rumah saja langsung membuat saya menjadi ibu sesungguhnya. Saya masih perlu banyak belajar, dari sekitar saya, terutama anak-anak .... Dan itu tidak mudah.

Sewindu Cinta Itu (Akhirnya) tentang Waktu
Saya belum pernah membaca karya Tasaro GK yang lain, sehingga saya tidak dapat membandingkan buku ini dengan buku lainnya. Namun, saya menyukai gaya penuturan Tasaro. To the point dan saya langsung mengerti apa yang akan disampaikan.

Mungkin salah satu kekurangan utama buku ini adalah ... harga. Yah, saya terkaget-kaget saat menerima bon pembelian. Wuidih, bukunya lumayan mahal juga. Bukan berarti saya anti membeli buku ‘mahal’, tapi ujungnya akan membuat saya berharap tidak rugi telah mengeluarkan kocek yang lumayan hanya demi sebuah buku. Protes saya terjawab setelah menemukan ilustrasi-ilustrasi sederhana berwarna yang mempercantik buku ini secara keseluruhan. Sangat disayangkan karena faktor harga inilah yang membuat buku ini tidak bisa dibaca banyak orang. Padahal, saya yakin, dengan harga yang lebih murah, buku ini akan banyak ditemukan di rak-rak para pecinta buku karena isinya yang memang berbobot. Hal lain yang membuat saya keberatan dalam arti sesungguhnya adalah jenis kertas yang digunakan. Dengan HVS putih, buku Sewindu ini memang terasa berat saat saya ajak berkeliling dalam tas saya.

Selain itu, dengan kover yang begitu teduh, sederhana, tapi menarik, saya kembali berkeluh kesah dengan jenis kertas yang digunakan. Gara-garanya sederhana: karena butuh lama untuk menyelesaikan buku ini (dan akhirnya lebih sering saya ajak berkelana), tepi kertas kovernya mulai terbelah. Tampilan buku Sewindu saya seakan telah dibaca berkali-kali selama sewindu. Tulisan judulnya pun terlalu kecil, sehingga tidak akan terbaca bila dilihat dari kejauhan. Yang ‘menolong’ membuat buku ini mencuat di antara deretan buku lain mungkin warna hijaunya yang dominan. Bahkan jenis font yang menuliskan Tasaro GK terasa mbulet-mbulet dan tidak bisa langsung terbaca (untuk saya). Dengan samping buku yang begitu lebar, ukuran nama penulis, judul, beserta nama penerbit pun begitu imut (dan menggemaskan dengan warna hijau muda yang lagi-lagi tidak terbaca dari jauh), sehingga terasa kurang memaksimalkan tampilan kover agar tidak kalah bersaing di toko buku. Walau saya yakin pembaca yang haus bacaan bagus akan lebih memilih buku karena isinya, bukan kovernya.

Pada akhirnya, Sewindu bukan sekadar perjalanan hidup Tasaro GK. Bukan pula sebuah ajang pembuktian pencapaian Tasaro GK. Buku ini berisi kumpulan hikmah hidup, yang dapat diterapkan dalam hidup kita, menjadi bahan renungan yang tak akan lekang oleh waktu.

Arus indah itu bernama cinta, dan cinta itu tentang waktu.

PS. Saya kembali menangis membaca bagian tentang Bapak. Mengingatkan saya akan kenangan-kenangan yang saya habiskan bersama almarhum Papa.

Tentang Penulis:
Tasaro GK adalah seorang juru dongeng. Anak dari Ummi Dariyah; seorang ibu yang menulis hingga hari-hari terakhir kesadarannya. Pula, bungsu seorang bapak yang setia dengan mesin ketik klasiknya: Muryadi Radiyowirono.

Tulisan ini diikutkan dalam Lomba Resensi Sewindu karya Tasaro GK.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar