Judul: Sewindu
Penulis: Tasaro GK
Penerbit: Tiga Serangkai
Jumlah halaman: 382 halaman
Harga: Rp82.000,-
Pengakuan, saat saya pertama memesan Sewindu, saya tidak tahu apa pun mengenai buku ini selain judul,
penulis, dan penerbitnya. Tidak heran begitu bukunya datang, saya kebingungan
sendiri. Apalagi saat membaca kover belakangnya. Tebersit pertanyaan, “Sebetulnya
Sewindu ini buku apakah?” Jujur, saya
sempat menyangka kalau buku ini adalah novel belaka, bukannya perjalanan hidup
Tasaro GK dalam waktu delapan tahun ....
Mencinta dengan
Sederhana
Ternyata seorang Tasaro GK pun memulainya dari nol. Ya, saat
pertama menikah, keluarga Tasaro bisa dibilang tidak memiliki apa-apa. Barang
seadanya, makan sekadarnya, bahkan rumah yang dicicil pun belum bisa dikatakan
sebagai sebuah rumah sungguhan karena harus ditambah ini itu. Bahkan halamannya
pun masih harus dicangkuli. Di sinilah Tasaro membawa pembacanya menelusuri
jejak hidupnya, berbagi suka dan duka perjuangan yang dilaluinya bersama sang
istri. Dalam kesederhanaan, tapi penuh dengan cinta yang kaya.
Tasaro menuturkan babak-babak penting dalam hidupnya tidak
secara runut. Kalau dalam novel, bisa dibilang alurnya bergerak maju mundur,
tapi sesuai. Sebagian besar porsi yang dijabarkan bercerita tentang orang-orang
di sekitar Tasaro, baik sang istri, anak-anak, ibu dan ibu mertua, kakak dan
adik, ipar, sahabat, juga tetangga dan teman-teman. Tasaro tidak banyak
membahas mengenai dunia penulisan, walau ia dengan lihai menyisipkannya dalam
berbagai sudut kisahnya di buku Sewindu ini.
Tanpa terasa menggurui, Tasaro mengajarkan saya banyak hal. Misalnya
saja bahwa orang yang bekerja di luar rumah (alias menjadi karyawan atau
semacamnya) pasti lelah ketika ia pulang ke rumah, namun bukan berarti orang
yang ‘tidak ada kerjaan’ di rumah pun tidak lelah. Ia menyadarkan saya (walau
saya juga telah mengalaminya sendiri) bahwa ‘terbelenggu’ dalam rutinitas
sehari-hari di rumah dapat begitu membosankan, jauh lebih kelabu dibandingkan
rutinitas seorang pekerja yang lebih berwarna karena dapat bertemu orang-orang
baru atau melewati jalur yang berbeda dalam perjalanan ke atau dari kantor.
Saat Dia Tak Ada
Bagian yang sukses membuat saya menangis tentu saja cerita
mengenai Ummi (ibunda Tasaro) dan Mih (ibunda Mimi, alias sang istri). Tasaro
lagi-lagi mengingatkan saya bahwa utang harus dibayar, jauh lebih baik sebelum
nyawa meninggalkan raga. Lho, apa hubungan utang dengan ibunda? Tentu ada,
karena Ummi (dan Insya Allah Mih) menutup mata dengan utang yang telah
terlunasi. Selain itu, Ummi dan Mih menunjukkan bahwa kasih sayang seorang ibu
memang seluas samudera (ya, ya, ada juga ibu-ibu yang tidak begitu, tapi
jumlahnya tidak sebanding dengan ibu-ibu lain yang memang pantas dipanggil
ibu). Dan saya pribadi menambahkan satu sosok lagi: Mimi. Kesabarannya
menjalani awal rumah tangga yang sederhana ternyata belum sebanding dengan
ketegarannya menghadapi dua kali kepergian sang jabang bayi yang bahkan belum
sempat menghirup udara di bumi ini ....
Menunggumu, Nak!
Kisah lain yang membuat saya kembali merenung adalah bagian
mengenai anak-anak Tasaro. Setelah menanti begitu lama, melewati masa-masa
memandangi anak tetangga dan menggosipkan kelucuan mereka, tidak heran kalau
kelahiran Sena atau Daeza begitu dinanti. Namun, ada kalanya anak yang ditunggu
ini akhirnya mengetes kesabaran dan ketabahan orangtua. Lalu, apakah orangtua
berhak mencap mereka sebagai ‘anakku’, padahal mereka adalah titipan Allah?
Kalimat ‘Jika saya sabar menunggu
kelahirannya begitu lama, mengapa menjadi tidak sabar ketika menunggunya lancar
berbicara?’ kembali menarik saya pada kesadaran bahwa sebagai seorang ibu,
mau tidak mau, harus punya stok kesabaran yang melimpah. Kenapa? Karena
anak-anak itu, anak saya atau anak lainnya, hanyalah amanah dan mereka perlu
dibimbing agak kelak menjadi khalifah yang menegakkan kebaikan di muka bumi.
Bab lain yang saya sukai adalah Mengundurkan Diri. Bagian ini pun baru saja saya lalui dalam babak
kehidupan saya: mengundurkan diri dari pekerjaan yang menyita waktu saya di
luar rumah dan kembali menjadi seorang ibu penuh waktu. Dulu saya sempat
mempertanyakan apakah saya ikhlas mengambil keputusan ini? Namun, melalui
tulisan Tasaro, saya diingatkan kembali bahwa sedemikian banyak waktu yang saya
habiskan di luar sana untuk bekerja dan saya hanya menyisakan sedikit waktu
untuk anak-anak di rumah. Jadi, kapan
saya benar-benar menjadi seorang ibu? Bukan berarti dengan berada di rumah
saja langsung membuat saya menjadi ibu sesungguhnya. Saya masih perlu banyak
belajar, dari sekitar saya, terutama anak-anak .... Dan itu tidak mudah.
Sewindu Cinta Itu
(Akhirnya) tentang Waktu
Saya belum pernah membaca karya Tasaro GK yang lain, sehingga saya tidak dapat membandingkan buku ini dengan buku lainnya. Namun, saya menyukai gaya penuturan Tasaro. To the point dan saya langsung mengerti apa yang akan disampaikan.
Mungkin salah satu kekurangan utama buku ini adalah ... harga. Yah, saya terkaget-kaget saat menerima bon pembelian. Wuidih, bukunya lumayan mahal juga. Bukan berarti saya anti membeli buku ‘mahal’, tapi ujungnya akan membuat saya berharap tidak rugi telah mengeluarkan kocek yang lumayan hanya demi sebuah buku. Protes saya terjawab setelah menemukan ilustrasi-ilustrasi sederhana berwarna yang mempercantik buku ini secara keseluruhan. Sangat disayangkan karena faktor harga inilah yang membuat buku ini tidak bisa dibaca banyak orang. Padahal, saya yakin, dengan harga yang lebih murah, buku ini akan banyak ditemukan di rak-rak para pecinta buku karena isinya yang memang berbobot. Hal lain yang membuat saya keberatan dalam arti sesungguhnya adalah jenis kertas yang digunakan. Dengan HVS putih, buku Sewindu ini memang terasa berat saat saya ajak berkeliling dalam tas saya.
Mungkin salah satu kekurangan utama buku ini adalah ... harga. Yah, saya terkaget-kaget saat menerima bon pembelian. Wuidih, bukunya lumayan mahal juga. Bukan berarti saya anti membeli buku ‘mahal’, tapi ujungnya akan membuat saya berharap tidak rugi telah mengeluarkan kocek yang lumayan hanya demi sebuah buku. Protes saya terjawab setelah menemukan ilustrasi-ilustrasi sederhana berwarna yang mempercantik buku ini secara keseluruhan. Sangat disayangkan karena faktor harga inilah yang membuat buku ini tidak bisa dibaca banyak orang. Padahal, saya yakin, dengan harga yang lebih murah, buku ini akan banyak ditemukan di rak-rak para pecinta buku karena isinya yang memang berbobot. Hal lain yang membuat saya keberatan dalam arti sesungguhnya adalah jenis kertas yang digunakan. Dengan HVS putih, buku Sewindu ini memang terasa berat saat saya ajak berkeliling dalam tas saya.
Selain itu, dengan kover yang begitu teduh, sederhana, tapi
menarik, saya kembali berkeluh kesah dengan jenis kertas yang digunakan.
Gara-garanya sederhana: karena butuh lama untuk menyelesaikan buku ini (dan
akhirnya lebih sering saya ajak berkelana), tepi kertas kovernya mulai
terbelah. Tampilan buku Sewindu saya
seakan telah dibaca berkali-kali selama sewindu. Tulisan judulnya pun terlalu
kecil, sehingga tidak akan terbaca bila dilihat dari kejauhan. Yang ‘menolong’
membuat buku ini mencuat di antara deretan buku lain mungkin warna hijaunya
yang dominan. Bahkan jenis font yang menuliskan Tasaro GK terasa mbulet-mbulet
dan tidak bisa langsung terbaca (untuk saya). Dengan samping buku yang begitu
lebar, ukuran nama penulis, judul, beserta nama penerbit pun begitu imut (dan
menggemaskan dengan warna hijau muda yang lagi-lagi tidak terbaca dari jauh),
sehingga terasa kurang memaksimalkan tampilan kover agar tidak kalah bersaing
di toko buku. Walau saya yakin pembaca yang haus bacaan bagus akan lebih
memilih buku karena isinya, bukan kovernya.
Pada akhirnya, Sewindu
bukan sekadar perjalanan hidup Tasaro GK. Bukan pula sebuah ajang pembuktian
pencapaian Tasaro GK. Buku ini berisi kumpulan hikmah hidup, yang dapat
diterapkan dalam hidup kita, menjadi bahan renungan yang tak akan lekang oleh
waktu.
Arus indah itu bernama
cinta, dan cinta itu tentang waktu.
PS. Saya kembali menangis membaca bagian tentang Bapak.
Mengingatkan saya akan kenangan-kenangan yang saya habiskan bersama almarhum
Papa.
Tentang Penulis:
Tasaro GK adalah seorang juru dongeng. Anak dari Ummi
Dariyah; seorang ibu yang menulis hingga hari-hari terakhir kesadarannya. Pula,
bungsu seorang bapak yang setia dengan mesin ketik klasiknya: Muryadi Radiyowirono.
Tulisan ini diikutkan dalam Lomba Resensi Sewindu karya Tasaro GK.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar