Sudah lama
saya ingin sekali membaca buku yang satu ini dan betapa bahagianya saya saat
akhirnya mendapatkannya melalui Annual End of Year 2012 Book Contest yang
dilaksanakan oleh Penerbit Esensi dan @okeyzz. Selain karena kovernya yang
sederhana, tapi manis, judulnya juga mengindikasikan akan… “sesuatu”.
Judul: Heart
of the Matter-Di antara Dua Hati
Penulis:
Emily Giffin
Penerbit:
Esensi
Halaman: 448
lembar
Sinopsis:
Setiap orang yang menginginkan cinta,
pastilah mendambakan kebahagiaan. Namun, bolehkah suatu sumpah sacral dikhianati
karena salah satu pihak merasa tidak menemukan kebahagiaan? Lalu, bagaimana
pula dengan seseorang yang mencari kebahagiaan cinta lewat pengkhianatan?
Tessa Russo adalah seorang istri dan ibu
yang berjuang keras untuk mengurus rumah tangganya. Suaminya, Nick Russo,
adalah seorang pria yang tampan dan terkenal sebagai ahli bedah yang andal.
Situasi rumah tangga mereka sedang terasa tidak nyaman, begitu pula situasi
mereka terhadap satu sama lain. Nick merasa tuntutan pekerjaan dan kewajibannya
di rumah saling bertentangan, sedangkan Tessa berharap Nick akan berperan lebih
banyak di dalam rumah tangga mereka.
Namun, pada suatu malam, sebuah kecelakaan
membuat jalan hidup mereka bersimpangan dengan seorang wanita lain: Valerie
Anderson. Ia adalah wanita kesepian dan oran tua tunggal bagi seorang anak yang
tidak pernah mengenal ayahnya.
Sejak itu, kehidupan ketiga orang itu tidak
lagi sama. Ada cinta yang diuji, ada
sumpah yang dilanggar, dan ada aturan yang diabaikan. Namun, apakah cinta akan
mengatasi segalanya? Kita kembalikan pada hakikatnya.
Membaca
sinopsisnya, langsung terlintas satu kata di benak saya: perselingkuhan. Sebuah
tema yang sudah umum diangkat menjadi novel atau apa pun karena sudah menjadi
bagian dalam hidup manusia. Setiap orang mungkin akan merasakannya, bahkan
mungkin melakukannya. Tidak terkecuali, termasuk saya. Yang saya ingin tahu
adalah bagaimana Emily Giffin meramu perselingkuhan ini menjadi sebuah novel yang
menarik untuk dibaca.
Tessa Russo
digambarkan sebagai wanita biasa, yang akhirnya memilih berhenti bekerja demi
menjadi ibu rumah tangga dan mengurusi kedua buah hatinya, Ruby dan Frank.
Tapi, seperti rata-rata ibu mantan wanita karier lainnya, Tessa tidak dapat
langsung beradaptasi dengan perannya yang baru. Ia merasakan waktunya sebagai
ibu rumah tangga tidak pernah cukup mengurusi semuanya. Ia mengharapkan Nick
membantu, tapi seperti seorang pria pada umumnya, ia tidak terlalu peduli
dengan urusan remeh temeh rumah tangga.
Nick sendiri
adalah pria yang santai. Dengan pekerjaannya sebagai dokter bedah, ia banyak
disukai orang karena wajah dan karakternya. Termasuk pasien kecilnya, Charlie, yang mengalami luka bakar saat memanggang marshmallow. Perawatannya terhadap Charlie membuat Nick banyak berinteraksi dengan Valerie, ibunda Charlie. Seringnya mereka mendiskusikan Charlie, akhirnya membuat hubungan Nick dan Valerie lebih dari sekadar dokter dan ibunda pasiennya.
Valerie bukanlah wanita yang terbuka. Ia cenderung tertutup dan saat ia ditinggalkan dalam kondisi hamil oleh sang mantan pacar, Valerie tidak dapat berbuat banyak selain kembali bekerja sebagai pengacara, melahirkan Charlie, dan meneruskan hidup dengan berinteraksi sesedikit mungkin dengan orang lain. Walaupun Jason, saudara kembarnya yang ceria, selalu mendorong Valerie untuk lebih terbuka, wanita itu memilih hidup dalam cangkang yang aman sampai kondisi Charlie membuatnya dekat dengan Nick.
Seperti yang dapat ditebak, mulailah hubungan segitiga di antara dua wanita dan satu pria ini. Saya pribadi dapat melihat alasan Valerie tertarik pada Nick, tapi saya kurang merasakan apa yang menjadi masalah utama Nick. Memang, kesibukan Nick di RS dan kejenuhan Tessa di rumah mungkin membuat keduanya dalam kondisi bosan yang dapat membahayakan pernikahan. Saya berharap, sebagai perempuan, Nick memiliki alasan yang sangat, sangat kuat untuk menjalin hubungan dengan Valerie, bahkan sampai jatuh cinta, dan mengkhianati Tessa.
Saya juga tidak merasakan apa yang membuat Nick begitu berubah setelah ia menghabiskan waktu yang intim dengan Valerie dan mengakui perasaannya pada wanita itu, ia akhirnya memilih kembali pada Tessa. Apakah karena penulis cerita ini adalah seorang wanita sehingga ia tidak terlalu menggali dalam-dalam perasaan Nick? Ataukah karena sudut penceritaan yang unik yang digunakan Emily adalah sebagai Tessa dan Valerie, bukan Nick?
Apa yang dialami Tessa atau Valerie dapat saya alami juga. Pun wanita-wanita lain. Tak peduli ia tinggal negara maju atau berkembang. Saya sempat berkaca-kaca membaca beberapa halaman terakhir buku ini.Saat itu, anak keduaku menghampiri saya dan bertanya, "Kenapa Mama sedih?" Oh, ya, Sayang, Mama sedih karena tidak dapat menyalahkan Tessa, Valerie, atau Nick. Mereka semua punya alasan, tapi manakah alasan yang dapat dibenarkan? Andaikan Nick dapat lebih berbahagia bersama Valerie, apakah seharusnya Tessa mengalah? Atau apakah akan lebih baik Nick dan Tessa kembali bersama demi anak-anak setelah apa yang terjadi? Atau... ada banyak pertanyaan lain yang mungkin saya tanyakan tanpa tahu jawabannya.
Emily Giffin mampu mengangkat masalah umum dengan bahasa yang sederhana. Dengan latar belakang keluarga masing-masing karakter yang sama kacaunya, kita dibawa pada kenyataan bahwa untuk menjaga sebuah perkawinan tidak hanya dibutuhkan cinta, tapi juga komitmen dan kesetiaan.
Seperti yang dapat ditebak, mulailah hubungan segitiga di antara dua wanita dan satu pria ini. Saya pribadi dapat melihat alasan Valerie tertarik pada Nick, tapi saya kurang merasakan apa yang menjadi masalah utama Nick. Memang, kesibukan Nick di RS dan kejenuhan Tessa di rumah mungkin membuat keduanya dalam kondisi bosan yang dapat membahayakan pernikahan. Saya berharap, sebagai perempuan, Nick memiliki alasan yang sangat, sangat kuat untuk menjalin hubungan dengan Valerie, bahkan sampai jatuh cinta, dan mengkhianati Tessa.
Saya juga tidak merasakan apa yang membuat Nick begitu berubah setelah ia menghabiskan waktu yang intim dengan Valerie dan mengakui perasaannya pada wanita itu, ia akhirnya memilih kembali pada Tessa. Apakah karena penulis cerita ini adalah seorang wanita sehingga ia tidak terlalu menggali dalam-dalam perasaan Nick? Ataukah karena sudut penceritaan yang unik yang digunakan Emily adalah sebagai Tessa dan Valerie, bukan Nick?
Apa yang dialami Tessa atau Valerie dapat saya alami juga. Pun wanita-wanita lain. Tak peduli ia tinggal negara maju atau berkembang. Saya sempat berkaca-kaca membaca beberapa halaman terakhir buku ini.Saat itu, anak keduaku menghampiri saya dan bertanya, "Kenapa Mama sedih?" Oh, ya, Sayang, Mama sedih karena tidak dapat menyalahkan Tessa, Valerie, atau Nick. Mereka semua punya alasan, tapi manakah alasan yang dapat dibenarkan? Andaikan Nick dapat lebih berbahagia bersama Valerie, apakah seharusnya Tessa mengalah? Atau apakah akan lebih baik Nick dan Tessa kembali bersama demi anak-anak setelah apa yang terjadi? Atau... ada banyak pertanyaan lain yang mungkin saya tanyakan tanpa tahu jawabannya.
Emily Giffin mampu mengangkat masalah umum dengan bahasa yang sederhana. Dengan latar belakang keluarga masing-masing karakter yang sama kacaunya, kita dibawa pada kenyataan bahwa untuk menjaga sebuah perkawinan tidak hanya dibutuhkan cinta, tapi juga komitmen dan kesetiaan.
Aku juga ga bisa menyalahkan salah satu karakter. Kayaknya emang semua terjadi begitu saja dan faktor2 mengapa mereka melakukan itu bisa dipahami.. tapi secara moral masih salah. Si Nick dan Valerie ga kuat iman.. and I hate them for hurting Tessa T.T
BalasHapusAaaw... thanks for reviewing the book! I love your review ^^
Beneran suka nih reviewnya? Ehehe :) Thanks for giving me the opportunity to read this book anyway :)
HapusDoakan bisa menyelenggarakan event yg sama akhir tahun nanti ya. Dan kalo bisa, ikutan lagi lhooo ^^
HapusOya, karena sudah terkumpul semua, review-review buku esensi dari pemenang lainnya bisa di lihat disini :D http://sinopsisuntukmu.blogspot.com/2013/02/review-para-pemenang.html
Hapus