Judul: Tragedi Gadis Parijs van Java
Penerbit: Edelweiss
Pengarang: Ganu van Dort
Format: 13 x 20,5 cm
ISBN: 978-602-8672-14-6
Jumlah halaman: vi + 398
Harga: Rp48.000,00
Soft cover
Terbit: 16 Januari 2012
Awalnya saya tertarik membeli buku ini karena ada info lomba resensi dari Penerbit Edelweiss. Bukan berarti sebagian buku saya beli karena tujuan resensi. Kadang-kadang saya memilih untuk melewatkan lomba tersebut bila bukunya tidak menarik (perhatian) saya. Namun, buku yang ini lain cerita.
Seperti biasa, saat ingin membeli buku yang tidak ada di daftar belanja, saya akan mencari info sebanyak-banyaknya tentang buku ini. Dan ternyata... Info mengenai buku ini sedikit sekali. Saya hanya berhasil menemukan satu info melalui mesin pencari, selain info yang diberikan oleh penerbitnya sendiri. Dari info yang sedikit itu, pembahasan mengenai novel ini juga sangat singkat selain 'pendeskripsian tentang Bandung-nya detail sekali'. Siapa sangka hal itu malah menggugah rasa penasaran saya?
Berbeda dengan buku-buku lain yang saya beli, begitu novel Tragedi Gadis Parisj van Java ini tiba di rumah, saya langsung membuka segelnya dan mengintip dalamnya. Tapi, sebelumnya, saya mengagumi terlebih dahulu kecantikan wanita yang terpampang di kover novel ini :) Saya membayangkan seperti apa ya wajahnya jika matanya terbuka?
Buku ini kurang lebih bercerita mengenai tokoh sentral, Laura Hessels, seorang wanita keturunan Belanda tulen yang akhirnya menjadi mualaf dan mengganti namanya menjadi Fatimah saat menikah dengan Djaja Soeriadiredja, seorang pribumi dari kelas bangsawan. Mengambil setting di Bandoeng (ya, Bandung dengan ejaan lama) tempo dulu, saat menjadi salah satu kota terindah di pulau Jawa menurut para Welanda.
Jansens Kloosmayer dan istrinya, Mien, dibunuh secara kejam pada suatu malam oleh seorang pribumi, Madhapi. Konon, Madhapi diperintahkan oleh seorang Belanda yang misterius untuk membunuh pasutri yang pro "Politik Etika" dan menculik putri semata wayangnya, Laura, yang saat itu menjadi salah siswi terbaik HBS atau sekolah menengah atas untuk anak-anak Belanda dan anak-anak pribumi yang memiliki darah ningrat. Pembunuhan itu menyisakan misteri, juga duka mendalam pada Laura yang pada akhirnya diangkat anak oleh pamannya.
Laura masih tidak dapat hidup tenang. Selama ia tinggal di Bandoeng, Madhapi begitu setia menguntitnya dan tetap berusaha untuk menculiknya, sehingga Laura tidak memiliki pilihan selain meminta Djaja, teman sekelasnya di HBS yang jago pencak, untuk menjadi pengawalnya setelah kasus pelecehan seksual yang dilakukan Jantje Ijzerman, cinta pertama Laura. Hubungan antara Laura dan Djaja semakin dekat sampai akhirnya mereka resmi menjadi sepasang kekasih..
Bahkan, saat Laura dan Djaja akan merayakan hari terakhir Laura di Bandoeng sebelum berangkat sekolah kedokteran di Batavia, Madhapi berhasil menyeret Laura masuk ke Sungai Tjikapoendoeng yang berarus sangat deras. Djaja yang panik melihat kekasihnya timbul tenggelam di sungai tidak berpikir panjang langsung terjun untuk menyelamatkan Laura. Andaikan telat 10 menit saja, bisa dipastikan Laura sudah menemui ajal... Lagi-lagi, Madhapi berhasil lolos dari kejaran para polisi.
Laura dapat bernapas lega saat ia menuntut ilmu kedokteran sesuai wasiat ayahnya di Batavia. Selama tinggal di rumah Opa Bobbeke dan Oma Witteke, Laura juga dijaga oleh pamannya yang mantan KNIL. Karena itu, Laura dapat menyelesaikan pendidikannya dengan predikat cum laude, sementara Djaja akhirnya menjadi seorang reporter di kantor De Vrije Pers. Selama mereka dipisahkan jarak, mereka rajin berkirim surat atau bahkan saling mengunjungi di saat senggang.
Masalah kembali menghantuin Laura saat ia kembali ke Bandoeng. Belum apa-apa, Madhapi sudah mengincar gadis ini. Tidak tanggung-tanggung, Madhapi menyusup masuk ke dalam kamar Laura! Walau Djaja sudah memikirkan taktik untuk meringkus pria kejam ini, tidak urung dia berhasil kabur sambil membawa Atjih, jongos Laura, bahkan menodainya...
Butiran pasir sejarah telah bergulir. Laura, Djaja, Jantje, semuanya tidak dapat menolak takdirnya. Saat Djaja menulis artikel yang menyinggung pihak Belanda, ia tidak dapat menolak saat ia harus dibuang ke Suriname dan ternyata pesawat Jepang menembaki kapal yang ditumpangi Djaja. Begitu juga saat Laura harus masuk kamp yang diawasi tentara Jepang yang kejam. Mereka tidak dapat melawannya...
Bagaimana kisah hidup Laura dan Djaja? Apakah mereka dapat tersenyum menikmati hari-hari damai setelah kemerdekaan Indonesia? Apakah Laura dapat bertahan sebagai mualafsaat menikah dengan Djaja? Ataukah sejarah kembali tertawa melihat bagaimana putaran roda nasib membawa seluruh pelakon kehidupan ini?
Kita dibawa menyusuri kota Bandoeng dari awal cerita sampai akhir. Ganu van Dort berhasil menggali jejak-jejak kenangan yang menyertai kota Bandoeng, terutama tempat-tempat yang sejak awal bukanlah fiktif. Saya sedikit termangu-mangu membaca fakta-fakta mengenai kota Bandoeng, misalnya dahulu Jl. Braga disebut Bragaweg dan betapa orang-orang Belanda itu sangat suka tinggal di Bandoeng.
Ada beberapa hal yang mengganggu saya saat membaca novel ini, antara lain:
1. Tanda baca. Saya perhatikan banyak tanda koma yang tidak pada tempatnya. Saat tidak dibutuhkan koma, saya menemukan tanda ini. Begitu juga sebaliknya. Mungkin tidak terlalu mengganggu, tapi untuk saya, iya.
2. Footnote. Penulisan nomor footnote tidak seragam. Ada yang ditulis langsung menempel pada kata yang akan diterangkan, misal Bragaweg1, sementara di kata lain terpisah oleh tanda baca, misal Insulinde?34. Bahkan ada pula nomor yang ditulis di depan kata tersebut.
3. Terlalu banyak footnote. Saya menyadari bahwa penggunaan istilah asing yang didominasi bahasa Belanda tidak dapat dihindari. Tapi saya menyarankan agar dialog dalam bahasa Belanda sebaiknya langsung saja diterjemahkan di sebelahnya, jangan berupa footnote. Contoh: “Waarom niet? Kenapa tidak?” balas nyonya rumah.
4. Penggunaan tanda kutip dan italic. Kembali pada poin tiga, banyak sekali kata-kata dalam bahasa asing yang dituliskan dengan huruf miring SEKALIGUS ditambahkan tanda kutip. Seingat saya, jika sudah diberikan tanda kutip, maka kata tersebut tidak perlu dimiringkan.
5. Huruf kapital. Karena salah tanda baca, yang seharusnya koma menjadi titik atau sebaliknya, beberapa kata jadi tidak sesuai kaidah. Yang seharusnya kapital malah huruf kecil.
6. Ketidakkonsistenan. Ini berlaku baik untuk footnote atau istilah yang dipakai. MisalnyaInsulinde beberapa kali ditulis Isulinde sehingga saya harus memastikan kembali istilah mana yang benar. Keterangan footnote juga terkadang memakai huruf miring, tapi di lain kesempatan huruf tegak.
Saya pribadi merasa bahwa penggunaan kata ‘Tragedi’ pada judul kurang tepat. Memang betul Laura mengalami beberapa musibah dalam hidupnya, tapi itu bukan berarti seluruh isi buku ini berupa tragedi. Gara-gara kata yang satu ini, saya sedikit berharap dari awal buku sudah diwarnai tragedi.
Selain itu, info-info menyangkut sejarah Indonesia sejatinya cukup menarik. Namun, ada beberapa bagian yang menurut saya bisa disingkat agar pembaca tidak terlalu bosan. Saya dapat melihat bahwa sejarah di sini bukan sekadar tempelan, melainkan para tokohnya memang melintasi waktu mengikuti jejak sejarah Indonesia. Saya seakan melihat sejarah Indonesia dari sudut pandang yang lain, sudut yang sangat berbeda dari buku sejarah yang selama ini saya lalap di bangku sekolah.
Saya pribadi merasa misteri yang melingkupi Laura kurang kuat. Siapakah orang Belanda misterius yang memerintahkan membunuh keluarga Laura memang terjawab di akhir cerita, namun sepak terjangnya sama sekali tidak kental. Dan setelah rentang waktu yang begitu lama sejak awal sampai akhir cerita, saya merasakan bahwa karakter tersebut ‘kebetulan’ dapat bertahan hidup tanpa masalah sementara para karakter utama kita harus jatuh bangun bertahan hidup. Alasan kenapa karakter misterius tersebut melakukan hal tersebut juga kurang digarap karena hanya muncul di sepertiga awal dan akhir saja.
Namun, saya cukup kagum karena beberapa karakter pedamping yang saya pikir tidak ada gunanya dalam cerita, tapi ternyata memiliki peran yang cukup penting di bagian akhir. Ternyata Jantje, Wiwin, atau Doedoeng memiliki perannya masing-masing, seperti mungkin kita menganggap remeh orang lain tapi ia membawa perubahan dalam diri kita.
Akhir kata, membaca buku ini membuat saya menahan napas, membayangkan apabila saya adalah Laura, apakah saya dapat setegar dirinya menghadapi takdir yang membawa pergi segalanya? Buku ini tidak memiliki ending yang saya harapkan, namun seperti itulah hidup. Tidak selamanya sesuai yang kita inginkan, tapi kita harus menghadapinya dengan kuat dan selalu tersenyum demi masa depan yang mungkin saja akan lebih baik.
"Dag Bandoeng, ik herineer je altijd... Selamat tinggal, Bandoeng, aku sangat mengenangmu..."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar