Saya tidak suka travelling,
jadilah saya jarang membaca buku-buku yang isinya tentang jalan-jalan. Terlebih
lagi, saya tidak suka dengan buku yang malah bercerita, “Lo mau tahu gue
ngapain aja di LN?” Jadi, saya sempat malas-malasan membaca Haram Keliling Dunia yang dikirimkan
oleh seorang teman. Yang terlintas pertama kali mendengar judulnya tentu saja, “Apa-apaan,
tuh? Memangnya ada hukumnya haram keliling dunia?” Ternyata, memang tidak boleh
berpikir aneh-aneh dulu sebelum kenal langsung sama buku yang satu ini.
Penulis | : | Nur Febriani Wardi |
Penerbit | : | Gramedia |
Rencana Terbit | : | April 2013 |
Jenis Cover | : | Soft Cover |
Halaman | : | 316 |
Ukuran | : | 135 x 200 mm |
Berat | : | 350 gram |
Harga | : | Rp58.000,- |
Oke, tampilan luarnya cakep, nih. Yah, walau gara-gara
warnanya yang senada, keseluruhan gambar dan tulisannya malah tenggelam. Memang
menyatu, sih, tapi dari kejauhan nuansanya jadi flat kecokelatan. Eh? Apa? Bagian ini tidak terlalu penting? Oke,
kita pindah ke langsung ke bagian yang menarik perhatian saya saat skimming awal: tata letaknya! (Maaf
kalau saya malah membahas bagian ini duluan, soalnya memang inilah yang menarik
perhatian saya sejak awal).
(Hampir) seluruh halaman diberi bingkai dengan efek kertas
kusut. Menarik, sih, memberi kesan berbeda, tapi… kenapa kertas kusut?
Sebetulnya memang tidak penting, sih, tapi mungkin akan lebih pas kalau diberi
tekstur yang mengingatkan akan jalan-jalan. Entah apa itu #plak Saya agak
terganggu dengan tulisan ‘Haram Keliling Dunia’ di bagian atas halaman,
seakan-akan saya terus diingatkan kalau buku yang saya baca itu adalah HKD,
bukan KBBI. Padahal, ornamen pelengkap seperti gambar Menara Eiffel, Kakbah
(dan saya tidak terbiasa dengan istilah ini karena lebih klik dengan Ka’bah),
atau double decker di sampul akan
sangat imut kalau diletakkan di sudut-sudut halaman.
Masih soal tata letak. Saya menikmati membaca bku ini selain
karena isinya, tetapi juga karena ukuran hurufnya yang pas. Tidak terlalu besar
atau kecil, jenisnya pun memiliki bentuk yang jelas. Yang jadi masalah adalah
peletakan fotonya. Pertama, sering kali foto-fotonya dijejalkan begitu saja di
satu halaman, bertumpukan dan sebagian kurang jelas (iya, buku ini dicetak BW,
jadi detailnya tidak kelihatan, bla bla). Selain itu, pin yang dianalogikan
sebagai benda untuk menancapkan foto-foto tersebut di dinding halaman malah
mengganggu karena warnanya yang bercampur dengan foto secara keseluruhan dan
kehilangan fungsinya sebagai ornamen. Foto pun sebagian tidak diberi
keterangan, padahal saya ingin tahu apa yang seharusnya diceritakan foto itu.
Belum lagi beberapa foto letaknya terlalu mepet ke tepi…
Ah, sudah, tinggalkan uneg-uneg saya soal tampilan fisik
buku ini. Seperti yang saya bilang, saya tidak suka buku yang sibuk
menceritakan pendapat pribadi si penulis ketika ia jalan-jalan. Tapi, saya
dapat terhanyut *tsah* dalam kalimat-kalimat yang dituturkan Nur (sok akrab,
deh, gue!). Judulnya yang ambigu itu langsung dijelaskan di bab awal. Oh,
ternyata maksud ‘haram’ itu bukan haram dalam hukum Islam, melainkan mengacu
pada Tanah Haram. *angguk-angguk*
Yang menarik adalah Nur berhasil menunjukkan hal unik dari
tempat-tempat yang ia kunjungi. Salah satu bagian yang paling saya ingat adalah
adanya larangan memotret di sekitar Masjidil Haram. Ada satu lagi yang saya
ingat: bagian mengenai Pompeii. Sebelumnya, saya membaca sebuah judul komik
dengan seting masa lalu Pompeii, lengkap dengan Gunung Vesuvius yang meletus.
Namun, dari penjelasan Nur, saya dapat mengambil kesimpulan baru yang membuat
saya terpana seakan baru menemukan ilmu pengetahuan baru.
Tebak, bagian mana lagi yang saya suka? He he, saya jatuh
cinta pada bagian pelayaran di kapal Henry
Dunant. Walau saya berusaha keras membayangkan seperti apa suasana di atas
kapal berisi kru dan tamu-tamu yang usianya sudah tidak muda lagi. Bekerja
menjadi kru kapal tanpa pengalaman dan bahasa memadai pastilah bukan hal mudah,
tapi Nur seakan membuktikan, “Kalau ada kemauan, pasti ada jalan.” (Walaupun
tinggi badan tidak menolong, he he).
Adik saya juga mengambil beasiswa yang sama dengan Nur
walaupun mengambil jurusan yang berbeda. Selama saya membaca HKD, saya juga
berkali-kali bertanya-tanya ini-itu, siapa tahu adik saya juga menjejakkan kaki
di tempat yang sama dijelajahi oleh Nur. Gara-gara sesi wawancara itu, saya
juga jadi penasaran, biaya dari manakah sehingga Nur dapat berplesir? Mungkin
ini rahasia perusahaan, tapi ada baiknya Nur juga menjelaskan kalau ia butuh
bekerja paruh waktu sekian lama dengan gaji sekian untuk jalan-jalan ke anu. Yah,
setidaknya pembaca yang tergoda meniru jejak Nur juga dapat mempersiapkan dana
awalnya :)
Eits, ada yang nyaris terlupakan! Saya suka sekali dengan quote yang disertakan di setiap awal
bab. Terutama Nur mengambilnya dari peribahasa setempat, termasuk quote ala Nur sendiri ^__^ Quote yang paling nendang mungkin yang
ini à A stitch in time saves nine. Intinya
jangan suka menunda-nunda sesuatu, seperti yang saya lakukan untuk post review ini di blog dan membuat saya
entah masuk nominasi dalam kuis yang diadakan Nur atau tidak, a ha ha.
Melalui HKD, saya seakan dibawa berjalan-jalan menjelajahi
tempat-tempat yang dikunjungi Nur dan berhenti sejenak meresapi setiap
ciptaan-Nya. Saya ingin ke Swiss. Membaca cerita Nur, saya semakin ingin ke
sana. Ditambah Pompeii, tentu saja. Saya ingin menyaksikan sendiri ‘peninggalan-peninggalan’
mesum yang konon masih tersisa di sana sini, he he. Dan tentu saja, semoga awal
perjalanan saya nanti juga bermula dari Tanah Haram. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar