Photobucket

Senin, 10 Juni 2013

Seven Days yang Sangat Berarti


Pernahkah terbayang kalau dalam waktu yang singkat, tujuh hari, tersimpan sebuah titik balik yang akan menentukan hidupmu selanjutnya? Dalam waktu tujuh hari itu, kamu mendapatkan semacam pencerahan yang membawamu pada kesadaran baru?

Penulis: Rhein Fathia
Penerbit: Penerbit Mizan 


Alnilam Rahman Soeminta sedang terombang-ambing dalam memberikan jawaban atas lamaran Reza, kekasih yang sudah mendampinginya selama tiga tahun. Di tengah kebingungan Nilam, Shen Luthfi Ardiwinata, sahabat sejak kecil Nilam, mengajak gadis itu melanglang buana ke Bali. Dengan segala kebesaran hatinya, Reza mengizinkan pacarnya itu untuk berpetualang berdua saja dengan Shen karena ia sibuk dengan ‘kegiatan jantan’-nya… Siapa sangka, perjalanan bersama Shen selama tujuh hari membuka kesadaran Nilam mengenai siapa yang sesunggunya dicintainya….

Sejak awal, pola cerita maupun ending ceritanya sudah dapat saya tebak. Karena itu, saya berharap ada konflik yang cukup mengaduk-aduk perasaan saya dibandingkan sekadar catatan perjalanan Nilam dan Shen di Bali. Sayangnya, chemistry itu kurang kuat terasa karena karakter-karakter di buku ini terlalu manis. Ya, Shen, Reza, atau Nilam semuanya seakan tidak punya sisi jahat. Shen, yang lembut dan ‘takluk’ pada Nilam, rasanya tidak pernah marah atau melakukan sesuatu yang dapat dimaki-maki Nilam. Bahkan setelah Shen mencium Nilam (tentu dalam scene yang tenang dan damai, bukannya menggebu-gebu sampai membuahkan tamparan). Nilam sendiri bukan seorang pemberontak yang bisa diusir dari rumah atau pengangguran yang dapat membuat ortu marah-marah atau cewek brengsek yang bisa bikin Shen naik darah. Bukan, Nilam adalah gadis baik hati, jago menggambar, tidak kekurangan suatu apa pun, kecuali baru menyadari perasaannya setelah agak sedikit terlambat. Reza sendiri terasa sebagai tempelan saja supaya ada orang ketiga yang mengganggu hubungan Shen dan Nilam. Sayangnya (lagi), Reza tidak memenuhi syarat sebagai tipikal orang ketiga yang menyebalkan, menyusahkan, dan minta ditampol karena ia memiliki hati dan kesabaran seluas samudera….

Shen digambarkan agak misterius, namun ia tetap sangat perhatian pada Nilam. Shen lebih mirip induk burung yang terlalu mengurusi Nilam yang manja. Saya membayangkan andaikan Nilam tersesat seorang diri di Bali, apa yang akan ia lakukan, ya? Saya tidak merasakan adanya peningkatan karakter Nilam, selain dari dia tidak menyadari sampai menyadari isi hatinya sesungguhnya. Padahal, ketiga karakter ini sangat berpotensi membuat pembaca seperti saya menahan napas atau malah memiliki ambisi untuk memaki salah satu tokohnya. Yang ingin saya maki mungkin malah Shen, karena ia terlalu baik dan ngurusin Nilam.

Kelebihan utama buku ini mungkin nuansa Bali yang bertebaran di mana-mana. Penggambaran suasananya tidak akan sama jika penulisnya belum pernah menjelajah Pulau Dewata itu. Walau tetap saja saya merasa alurnya terlalu lambat, sampai-sampai Nilam harus mengucapkan salam hampir di setiap kesempatan. Andaikan Rhein memasukkan unsur kejutan di berbagai bagian mungkin akan membawa greget lebih pada buku ini. Jujur, saya tadinya ingin membuat fanfic kasus penculikan Nilam selama tujuh hari di Bali. Tapi, mengingat ketersediaan ide di otak saya, akhirnya ide itu menguap begitu saja :)

Anyway, saya menyukai nuansa jingga yang bertaburan di novel ini. Walau saya tidak dapat mengerti apa maksud awan dan dua hati di sampul depan, tapi warnanya yang hangat seakan menjanjikan cerita yang hangat juga. Terlebih lagi, ornamen di bagian awal bab maupun di sudut kiri bawah halaman juga memberikan warna berbeda. Tapi, saya tidak suka format buku ini. Dengan jumlah halaman mencapai 280 halaman, buku ini terlalu sempit, sehingga sering kali ‘terlontar’ dari pegangan saya. Jenis kertas kovernya pun mudah sekali kusut. Andaikan buku dibuat lebih lebar sedikit, mungkin saya tidak perlu was-was bukunya semakin kusut setiap kali saya baca…

Cinta itu perjuangan. Semuanya perlu direncanakan, dipikirkan masak-masak, diperhitungkan, diusahakan, sebagai wujud cinta. Tidak ada yang lebih membahagiakan selain melihat sosok yang kita cintai bahagia. Cinta tidak pernah memaksa kita untuk memilih, hiduplah yang mengharuskan untuk memilih. Termasuk memilih, kita ingin hidup dengan siapa…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar