Pernahkah terbayang kalau dalam waktu yang singkat, tujuh
hari, tersimpan sebuah titik balik yang akan menentukan hidupmu selanjutnya?
Dalam waktu tujuh hari itu, kamu mendapatkan semacam pencerahan yang membawamu
pada kesadaran baru?
Penulis: Rhein Fathia
Penerbit: Penerbit Mizan
Alnilam Rahman Soeminta sedang terombang-ambing dalam
memberikan jawaban atas lamaran Reza, kekasih yang sudah mendampinginya selama
tiga tahun. Di tengah kebingungan Nilam, Shen Luthfi Ardiwinata, sahabat sejak
kecil Nilam, mengajak gadis itu melanglang buana ke Bali. Dengan segala
kebesaran hatinya, Reza mengizinkan pacarnya itu untuk berpetualang berdua saja
dengan Shen karena ia sibuk dengan ‘kegiatan jantan’-nya… Siapa sangka,
perjalanan bersama Shen selama tujuh hari membuka kesadaran Nilam mengenai
siapa yang sesunggunya dicintainya….
Sejak awal, pola cerita maupun ending ceritanya sudah dapat saya tebak. Karena itu, saya berharap
ada konflik yang cukup mengaduk-aduk perasaan saya dibandingkan sekadar catatan
perjalanan Nilam dan Shen di Bali. Sayangnya, chemistry itu kurang kuat terasa karena karakter-karakter di buku
ini terlalu manis. Ya, Shen, Reza, atau Nilam semuanya seakan tidak punya sisi
jahat. Shen, yang lembut dan ‘takluk’ pada Nilam, rasanya tidak pernah marah
atau melakukan sesuatu yang dapat dimaki-maki Nilam. Bahkan setelah Shen
mencium Nilam (tentu dalam scene yang
tenang dan damai, bukannya menggebu-gebu sampai membuahkan tamparan). Nilam
sendiri bukan seorang pemberontak yang bisa diusir dari rumah atau pengangguran
yang dapat membuat ortu marah-marah atau cewek brengsek yang bisa bikin Shen
naik darah. Bukan, Nilam adalah gadis baik hati, jago menggambar, tidak
kekurangan suatu apa pun, kecuali baru menyadari perasaannya setelah agak
sedikit terlambat. Reza sendiri terasa sebagai tempelan saja supaya ada orang
ketiga yang mengganggu hubungan Shen dan Nilam. Sayangnya (lagi), Reza tidak
memenuhi syarat sebagai tipikal orang ketiga yang menyebalkan, menyusahkan, dan
minta ditampol karena ia memiliki hati dan kesabaran seluas samudera….
Shen digambarkan agak misterius, namun ia tetap sangat
perhatian pada Nilam. Shen lebih mirip induk burung yang terlalu mengurusi
Nilam yang manja. Saya membayangkan andaikan Nilam tersesat seorang diri di
Bali, apa yang akan ia lakukan, ya? Saya tidak merasakan adanya peningkatan
karakter Nilam, selain dari dia tidak menyadari sampai menyadari isi hatinya
sesungguhnya. Padahal, ketiga karakter ini sangat berpotensi membuat pembaca
seperti saya menahan napas atau malah memiliki ambisi untuk memaki salah satu
tokohnya. Yang ingin saya maki mungkin malah Shen, karena ia terlalu baik dan ngurusin Nilam.
Kelebihan utama buku ini mungkin nuansa Bali yang bertebaran
di mana-mana. Penggambaran suasananya tidak akan sama jika penulisnya belum
pernah menjelajah Pulau Dewata itu. Walau tetap saja saya merasa alurnya
terlalu lambat, sampai-sampai Nilam harus mengucapkan salam hampir di setiap
kesempatan. Andaikan Rhein memasukkan unsur kejutan di berbagai bagian mungkin
akan membawa greget lebih pada buku ini. Jujur, saya tadinya ingin membuat fanfic kasus penculikan Nilam selama
tujuh hari di Bali. Tapi, mengingat ketersediaan ide di otak saya, akhirnya ide
itu menguap begitu saja :)
Anyway, saya
menyukai nuansa jingga yang bertaburan di novel ini. Walau saya tidak dapat
mengerti apa maksud awan dan dua hati di sampul depan, tapi warnanya yang
hangat seakan menjanjikan cerita yang hangat juga. Terlebih lagi, ornamen di
bagian awal bab maupun di sudut kiri bawah halaman juga memberikan warna
berbeda. Tapi, saya tidak suka format buku ini. Dengan jumlah halaman mencapai
280 halaman, buku ini terlalu sempit, sehingga sering kali ‘terlontar’ dari
pegangan saya. Jenis kertas kovernya pun mudah sekali kusut. Andaikan buku
dibuat lebih lebar sedikit, mungkin saya tidak perlu was-was bukunya semakin
kusut setiap kali saya baca…
Cinta itu perjuangan. Semuanya perlu direncanakan,
dipikirkan masak-masak, diperhitungkan, diusahakan, sebagai wujud cinta. Tidak
ada yang lebih membahagiakan selain melihat sosok yang kita cintai bahagia.
Cinta tidak pernah memaksa kita untuk memilih, hiduplah yang mengharuskan untuk
memilih. Termasuk memilih, kita ingin hidup dengan siapa…